SEBAGIAN orang mengatakan, bahwa pendidikan merupakan wilayah tak bertepi, luas tanpa batas. Relung demi relung dalam realitas hidup umat manusia sangat mungkin untuk kemudian ditabalkan sebagai wilayah terselenggaranya pendidikan. Itulah mengapa, pendidikan mustahil hanya semata diarahkan berlangsung pada ceruk-ceruk sempit bernama “ruang kelas” dalam satu kesatuan tata kelola di sebuah lembaga pendidikan. Masyarakat beserta lingkungan alam serta spektrum kebudayaan yang berkembang dinamis merupakan tempat bagi berlangsungnya segenap proses edukasi. Pada titik inilah maka relevan melakukan pembahasan terhadap saling hubungan antara ekonomi, ekologi dan edukasi.
Dewasa ini, kita sesungguhnya tak dapat mengelak dari timbulnya persoalan di seputar kontras atau benturan yang sangat tajam antara ekonomi pada satu pihak dan ekologi pada lain pihak. Terlampau besarnya ambisi untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi justru malah menjauhkan kehidupan umat manusia dari kebahagiaan. Itu karena, ambisi mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi ditimpali oleh kerusakan ekologis, yang pada giliran selanjutnya mengancam keberadaan mahluk hidup, termasuk manusia.
Strategi yang dicanangkan demi menggapai pertumbuhan ekonomi tinggi berupa pengurasan dan pengerukan sumber daya alam secara semena-mena. Hutan yang rusak, air yang tercemar, dan udara yang polutif, pada akhirnya tergelar sebagai panorama penuh kesuraman dalam hayat umat manusia di masa kini.
Pada titik persoalan ini, sebuah pertanyaan yang bersifat fundamental lalu penting dikemukakan, yaitu seberapa mungkin proses-proses edukasi mampu mengakhiri kontras antara ekonomi dan ekologi?
Jika ditilik secara saksama, pertanyaan ini sesungguhnya telah berkumandang sejak dekade 1960- an dan 1970-an, melalui terbitnya buku Silent Spring (1962) karya Rachel Carson serta terbitnya buku The Limits to Growth (1972) karya Donella H. Meadows, Dennis L. Meadows, dan Jørgen Randers. Pertanyaan tersebut mengandaikan adanya model pembangunan yang benar melalui terjadinya persenyawaan antara kemajuan ekonomi dan penyelamatan ekologis. Baik secara konsepsional maupun secara moral, ekonomi dan ekologi diskenariokan berada dalam lanskap harmoni. Maka, proses-proses edukasi dalam konteks ini menelisik berbagai kemungkinan untuk sepenuhnya meniadakan kontras antara ekonomi dan ekologi.
Dalam realitas Indonesia kini, harmoni antara ekonomi dan ekologi bukan lagi semata retorika, namun telah terkonfirmasikan pada tataran empirik. Tata kelola hutan di Desa Lambakara, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konewa Selatan, Sulawesi Tenggara, merupakan fakta empirik terjadinya persenyawaan secara harmoni antara ekonomi dan ekologi. Bahkan, Lambakara kini menjadi ikon tumbuhnya kesadaran publik untuk dengan sungguh-sungguh melakukan penyeimbangan antara aspek ekonomi dan aspek konservasi. Terhitung sejak tahun 2006, di Lambakara lahir Peraturan Desa (Perdes) tentang Penanaman Pohon.
Pengawasan Pengelolaan, dan Pelestarian Hutan Masyarakat. Perdes ini bukan saja mewajibkan warga menanam pohon dan melarang menebang habis pohon di lahan masing-masing, tetapi juga mampu memacu kemajuan ekonomi berorientasi konservasi ekologis (Kompas, 5 Juli 2012, hlm. 1 dan 15).
Tak pelak lagi, fakta empirik yang terbentang di Lambakara itu merupakan acuan untuk merancang bangun sebuah model edukasi yang secara konseptual maupun praktikal mensenyawakan ekonomi dan ekologi. Dalam perkembangan Lambakara kini sebagai social forestry, harmoni antara ekonomi dan ekologi telah menemukan dataran pijak yang jelas dan kongkret, bahkan telah membuahkan hasil yang bermakna bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kearifan yang muncul di Lambakara termanifestasikan melalui berlakunya kewajiban bagi setiap orang yang hendak melangsungkan pernikahan, melahirkan anak dan bagi setiap pendatang baru agar menanam sedikitnya 10 pohon. Maka, pada kawasan semacam Lambakara itu dunia pendidikan sesungguhnya dapat menangguk inspirasi untuk mengukuhkan harmoni antara ekonomi dan ekologi.
Masalahnya sejauh ini, fenomena Lambakara belum mendapatkan perhatian saksama dari dunia pendidikan untuk kemudian dikembangkan sebagai sebuah model edukasi yang tertuang dalam kurikulum.
Dewasa ini, kita sesungguhnya tak dapat mengelak dari timbulnya persoalan di seputar kontras atau benturan yang sangat tajam antara ekonomi pada satu pihak dan ekologi pada lain pihak. Terlampau besarnya ambisi untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi justru malah menjauhkan kehidupan umat manusia dari kebahagiaan. Itu karena, ambisi mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi ditimpali oleh kerusakan ekologis, yang pada giliran selanjutnya mengancam keberadaan mahluk hidup, termasuk manusia.
Strategi yang dicanangkan demi menggapai pertumbuhan ekonomi tinggi berupa pengurasan dan pengerukan sumber daya alam secara semena-mena. Hutan yang rusak, air yang tercemar, dan udara yang polutif, pada akhirnya tergelar sebagai panorama penuh kesuraman dalam hayat umat manusia di masa kini.
Pada titik persoalan ini, sebuah pertanyaan yang bersifat fundamental lalu penting dikemukakan, yaitu seberapa mungkin proses-proses edukasi mampu mengakhiri kontras antara ekonomi dan ekologi?
Jika ditilik secara saksama, pertanyaan ini sesungguhnya telah berkumandang sejak dekade 1960- an dan 1970-an, melalui terbitnya buku Silent Spring (1962) karya Rachel Carson serta terbitnya buku The Limits to Growth (1972) karya Donella H. Meadows, Dennis L. Meadows, dan Jørgen Randers. Pertanyaan tersebut mengandaikan adanya model pembangunan yang benar melalui terjadinya persenyawaan antara kemajuan ekonomi dan penyelamatan ekologis. Baik secara konsepsional maupun secara moral, ekonomi dan ekologi diskenariokan berada dalam lanskap harmoni. Maka, proses-proses edukasi dalam konteks ini menelisik berbagai kemungkinan untuk sepenuhnya meniadakan kontras antara ekonomi dan ekologi.
Dalam realitas Indonesia kini, harmoni antara ekonomi dan ekologi bukan lagi semata retorika, namun telah terkonfirmasikan pada tataran empirik. Tata kelola hutan di Desa Lambakara, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konewa Selatan, Sulawesi Tenggara, merupakan fakta empirik terjadinya persenyawaan secara harmoni antara ekonomi dan ekologi. Bahkan, Lambakara kini menjadi ikon tumbuhnya kesadaran publik untuk dengan sungguh-sungguh melakukan penyeimbangan antara aspek ekonomi dan aspek konservasi. Terhitung sejak tahun 2006, di Lambakara lahir Peraturan Desa (Perdes) tentang Penanaman Pohon.
Pengawasan Pengelolaan, dan Pelestarian Hutan Masyarakat. Perdes ini bukan saja mewajibkan warga menanam pohon dan melarang menebang habis pohon di lahan masing-masing, tetapi juga mampu memacu kemajuan ekonomi berorientasi konservasi ekologis (Kompas, 5 Juli 2012, hlm. 1 dan 15).
Tak pelak lagi, fakta empirik yang terbentang di Lambakara itu merupakan acuan untuk merancang bangun sebuah model edukasi yang secara konseptual maupun praktikal mensenyawakan ekonomi dan ekologi. Dalam perkembangan Lambakara kini sebagai social forestry, harmoni antara ekonomi dan ekologi telah menemukan dataran pijak yang jelas dan kongkret, bahkan telah membuahkan hasil yang bermakna bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kearifan yang muncul di Lambakara termanifestasikan melalui berlakunya kewajiban bagi setiap orang yang hendak melangsungkan pernikahan, melahirkan anak dan bagi setiap pendatang baru agar menanam sedikitnya 10 pohon. Maka, pada kawasan semacam Lambakara itu dunia pendidikan sesungguhnya dapat menangguk inspirasi untuk mengukuhkan harmoni antara ekonomi dan ekologi.
Masalahnya sejauh ini, fenomena Lambakara belum mendapatkan perhatian saksama dari dunia pendidikan untuk kemudian dikembangkan sebagai sebuah model edukasi yang tertuang dalam kurikulum.
Posting Komentar
Posting Komentar