-->

Raja Bali Kuno pra Ekpansi Majapahit Tahun 1343


Prasasti adalah ketetapan resmi yang dikeluarkan oleh para raja Bali Kuno. Prasasti menjelaskan tentang aturan yang telah disepakati bersama. Teks prasasti jarang menjelaskan tentang asal usul keturunan para raja itu. Karena tidak dijumpai secara pasti nama keturunannya, juga secara parsial terputus tahun prasasti yang dikeluarkan dari raja satu ke raja yang lain, maka menimbulkan berbagai macam penafsiran tentang kisah peristiwa apa yang telah terjadi dalam kehidupan mereka terdahulu. Adakah hubungan kekerabatan antara raja satu dengan raja sebelumnya, berapa lama mereka berkuasa, tahun berapa mereka meninggal dan dimana dicandikan? Adakah terjadi pengambilalihan kekuasaan secara paksa dari kerabat dekat raja maupun dari orang luar?


Sejarah pemerintahan raja-raja Bali Kuno, tidak ditemukan peralihan kekuasaan dengan cara paksa, dalam arti jika sang raja meninggal, tapuk pemerintahan akan digantikan oleh istri dan atau anaknya. Apabila sang anak masih kecil, belum cukup umur untuk berkuasa, maka akan digantikan oleh sang paman atau kerabat dekat raja yang lain. Apabila ‘buntu’ tak ada yang mau menggantikan, maka akan dipakai metode yang lain, melaui jalan ‘niskala’, dengan jalan minta petunjuk “nedunang ida bhatara” Hal seperti ini terlihat dalam teks Purana Pura Puseh Gaduh, Blahbatuh, dimana Sri Pasung Gerigis, seorang nyuklabrahmacari (tidak kawin seumur hidup), untuk mencari penggantinya sebagai orang suci di Pura Lempuyang, Gamongan, Karangasem.

Setelah terkumpul salinan naskah-naskah kuna itu, lalu kita telisik, prasasti satu dengan yang lain dirunut menurut angka tahun dan nama raja yang mengeluarkan prasasti itu. Kadang-kadang terlihat nama samar, dengan perkataan lain, beda nama tetapi orangnya satu, misalnya, antara Raja Sri Jayasakti, Sri Gnijaya Sakti, Sri Gnijaya dan Sri Ragajaya. Masa pemerintahan ke empat nama raja ini, menurut tahun Prasasti dan Purana, yang dikeluarkan berkisar tahun 1119–1177 Masehi. Dalam prasasti nama Sri Gnijaya Sakti dan Sri Gnijaya tidak muncul, jadi tidak ada prasasti yang dikeluarkan, sebagaimana umumnya raja raja yang lain. Begitu pula dengan raja Sri Ragajaya, hanya mengeluarkan satu prasasti yang disebut Prasasti Tejakula, tahun Isaka 1077/1155 Masehi. Sedangkan Raja Sri Jayasakti mengeluarkan prasasti terakhir pada tahun Isaka 1072/1150 Masehi, yang disebut Prasasti Sading Kapal. (Poeger, 1964:105). Tetapi dalam naskah Purana Bali Dwipa, Piagem Dukuh Gamongan, Prasasti Pura Puseh, Sading, Kapal, Purana Pura Batu Karu, Purana Pura Pucak Bukit Gede, dan beberapa naskah lainnya, akan terlihat jelas kisah kehidupan para raja Bali Kuna itu.

Teks Piagem Dukuh Gamongan dan Prasasti Pura Puseh Sading, Kapal, nama raja Sri Jayasakti identik dengan Sri Gnijaya Sakti, begitu juga putranya diberi nama sama dengan ayah kandung Sri Gnijaya juga (tanpa ident sakti di belakang namanya). Sedangkan nama Sri Ragajaya tidak muncul dalam purana manapun, Dalam kamus Jawa Kuna (Zoetmulder, 1994:899), kata raga artinya warna merah, Warna merah identik dengan warna Api atau Gni. Dari analisis ini raja Sri Ragajaya adalah nama lain dari Sri Gnijaya, raja ini banyak menjadi titik awal dalam penulisan piagem, purana, babad,prakempapamancangah lainnya yang ada di Bali masa kini.

Demikian pula setelah Raja Sri Aji Hungsu berkuasa muncul nama Sri Walaprabhu yang menggantikannya. Raja Walaprabhu mengeluarkan tiga prasasti yang disebut prasasti Babahan, Klandis, Babi A, menjadi raja Bali tahun 1079–1088 Masehi (Semadi Astra, 1977:21).

Dalam purana, raja Sri Walaprabhu tidak muncul nama itu, yang muncul menggantikan Sri Aji Hungsu adalah Sri Sakalindu Kirana, anak dari Sri Aji Hungsu yang beribu bangsawan. Hanya satu prasasti yang dikeluarkan raja Sri Sakalindu Kirana yang disebut prasasti Pengotan, Isaka 1010/1088 Masehi. Padahal dalam Purana Bali Dwipa, Purana Pura Pucak Bukit Gede, raja Sri Sakalindu Kirana berkuasa selama 20 tahun dan digantikan oleh adiknya Sri Suradipa yang berkuasa selama 15 tahun.

Dengan demikian Walaprabhu diperkirakan seorang janda yang menjadi raja, kemungkinan setelah Sri Aji Hungsu meninggal, kemudian tapuk pemerintahan diganti oleh sang permaisuri yang seorang janda, maka disebut Waluprabu. Atau analisis lain, dalam Kamus Jawa Kuna, kata walaprabhuberasal dari bahasa sanskerta, dari urat kata wala dan prabhu, Wala artinya muda, kekanakan, tidak tumbuh atau belum berkembang penuh, muncul baru, tolol, junior. Prabhu artinya raja, Jadiwalaprabhu artinya raja muda, raja junior. Dengan demikian setelah Sri Aji Hungsu meninggal tapuk pemerintahan digantikan oleh permaisuri bersama putri mahkota yang masih kecil, bersama-sama menjadi penguasa Bali pada era itu.

Tetapi kebalikkan dari purana ini yaitu dalam prasasti yang dikeluarkan oleh Sri Aji Hungsu selalu menyebutkan, paduka haji anak wungsu kalih bhatari lumah ing burwan, bhatara lumah ing banu wka, artinya, raja Sri Aji Hungsu setiap mengeluarkan prasasti selalu mencantumkan almarhumah ibunya yang dicandikan di Buruwan, dan almarhumah ayah yang dicandikan di Banyu Wka. Sedangkan dalam purana tidak muncul nama Sri Aji Hungsu mengatasnamakan almarhum kedua orangtuanya yang dikebumikan di Bhurwan dan Banu Wka. Yang dicandikan di Buruwan adalah Ibunda Sri Mahendradatta dan di Banu Wka (Gunung Kawi) dicandikan ayahnda yaitu Sri Udayana.

Demikian pula dengan nama raja Sri Ajnadewi yang berkuasa setelah Sri Udayana. Hanya satu prasasti dikeluarkan oleh raja Sri Ajnadewi yang disebut prasasti Sembiran, tahun Isaka 938/1016 Masehi. Pertanyaannya siapakah Sri Ajnadewi? Di dalam Purana Bali Dwipa, Sri Udayana meninggal dunia Isaka 940/1018 Masehi, dicandikan di Banu Wka. Sri Ajnadewi tidak muncul dalam purana mana pun. Begitu pula dalam teks Purana Bali Dwipa, tertulis Sri Marakata berkuasa bersama-sama ibunya sebagai penguasa Bali pada era itu.

Sedangkan dalam prasasti yang dikeluarkan tidak kelihatan bahwa raja Sri Marakata berkuasa bersama ibunya. Kalau boleh diartikan secara bebas, Sang Ajnadewi artinya seorang dewi yang mahir dalam bidang ilmu waskita. Dalam dongeng serat calonarang yang ada di Bali, permaisuri Sri Udayana yang bernama Sri Mahendratta Gunaprya Dharmapatni sering dihubungkan ahli dalam ilmu mistis. Raja ini dimakamkan di Buruwan, dikuburanya terlukis arca Durga Mahisasura Wardhini. Arca ini menguatkan dugaan orang bahwa Mahendradatta sebagai penganut ajaran-ajaran ilmu gaib dan Dewi Durgalah yang menganugrahinya kesaktian. Jadi Sri Ajnadewi nama lain dari Sri Mahendratta Gunapriya Dharmapatni.

Begitu pula Raja Patih Kebo Parud dengan Raja Patih Sri Jayakatong adik kandung dari Sri Pasung Gerigis. Dalam prasasti Pengotan, tahun Caka 1218/1296 Masehi dan prasasti Sukawana, tahun Caka 1222/1300 Masehi, yang dikeluarkan oleh Raja Patih Makakasir Kebo Parud, berisikan persoalan Desa Kedisan dan Desa Sukawana yang terletak di perbatasan Balingkang. Sedangkan menurut buku Negarakertagama dikatakan bahwa pada tahun 1284 raja Kertanegara telah menyerang Bali dan rajanya ditawan. Sayang sekali dalam buku Negara Kertagama tidak disebutkan siapa nama raja Bali itu. Dalam Purana Bali Dwipa dijelaskan raja Kertanegara ingin mengusai Bali yang tatkala itu menjadi senapati Bali adalah  Raja Patih Kebo Parud. Dalam Piagem Dukuh Gamongan dijelaskan tahun Caka 1238/1318 Masehi, Sri Jayakatong sebagai penguasa di kerajaan Batahanar dan mendirikan Pura Gaduh, Blahbatuh. Setelah raja patih Sri Jaya Katong yang menjadi raja adalah Sri Taruna Jaya, Sri Masula-Masuli dan Sri Astasura Ratna Bumi Banten, raja akhir Bali Kuno.

Dari acuan di atas secara tegas menyebutkan yang menjadi pimpinan pemerintahan saat itu seorang Patih atau seorang Senapati bawahan raja yang mewakili dikeluarkannya prasasti tersebut diatas. Dalam skema silsilah Sri Karang Buncing bahwa Raja Patih Kebo Parud menjadi pucuk pimpinan setelah raja Sri Indracakru yang disebut juga Sri Sidhimatra, nama sama dengan sang ayah setelah menjalani hidup suci. Raja Sri Indracakru menggantikan kakaknya yaitu Sri Dewa Lancana. Dimana putra dari Sri Dewa Lencana yaitu Sri Taruna Jaya masih kecil yang semestinya menggantikan ayahnya. Karena kesenangan Sri Indracakru (Sri Sidhimantra) melakukan hidup suci mengikuti jejak para leluhur sebelumnya. Untuk menjalani roda pemerintahan diwakili oleh putranya yang nomor dua yaitu Sri Jaya Katong. Yang kemungkinan tatkala menduduki tapuk pemerintahan Sri Jaya Katong diberi gelar Raja Patih Makakasir Kebo Parud. Setelah Sri Taruna Jaya cukup umur untuk menjadi raja maka Sri Jaya Katong pun melakukan hidup suci dengan mendirikan Pura Gaduh di Blahbatuh. Sri Jaya Katong merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan baru yang disebut Batahanar artinya istana baru, dimana sebelumnya kerajaan Bali Kuno masih berada di Bali Utara, disebut kerajaan Singamandawa, sekarang menjadi nama kota Singaraja. Perkembangan selanjutnya pusat kerajaan menyebar ke selatan daerah Pejeng, Bedulu dan Blahbatuh. Argumentasi lain pada era Kebo Parud muncul nama Kebo Iwa merupakan anak didik dari Sri Jaya Katong. Jadi Kebo Parud bukan seorang patih dari Jawa. Dimana beberapa penekun sastra menafsirkan Kebo Parud seorang patih dari kerajaan Singosari. Yang dipengaruhi oleh Kerajaan Singasari terhadap Bali adalah penyebaran paham baru yang disebut agama Bhairawa. Peninggalan paham Bhairawa sangat kentara pada masa kini dengan adanya peninggalan Patung Bhima di Pura Kebo Edan, Pejeng dan Patung Arca Pangulu (patung kepala) di Pura Puseh Gaduh, Blahbatuh dan beberapa tinggalan lain yang tersebar di wilayah Gianyar. Dalam Piagem Dukuh Gamongan disebutkan Arca Pangulu maka lingganira hyang wawudateng artinya patung kepala merupakan simbol suci tuhan ajaran baru era itu.  

Begitu pula dengan nama Sri Taruna Jaya identik dengan Sri Jayasunu. Catatan prasasti tembaga di Banjar Srokodan, Perbekel Abuan, Susut, Bangli, dialih aksara dan diterjemahkan oleh Putu Budiastra, disebut prasasti Srokodan (Bhatara Guru), satu-satunya prasasti yang dikeluarkan oleh Sri Taruna Jaya, tahun Isaka 1246/1324 Masehi untuk desa Hyang Putih dan sekitarnya.

Tetapi dalam Piagem Dukuh Gamongan, Sri Dewa Lencana menurunkan putra Sri Taruna Jaya. Tidak muncul Sri Taruna Jaya menurunkan putra buncing (kembar laki perempuan) Sri Masula dan Sri Masuli (Prabhu buncing). Dalam Purana Bali Dwipa muncul Sri Jayasunu mempunyai putra buncing bernama Sri Masula dan Sri Masuli menjadi raja Bali tahun 1324 Masehi. Sri Jayasunu satupun tidak mengeluarkan prasasti sebagai mana raja yang lain. Sedangkan dalam salinan lontar Aji Murti Siwasasana ning Bwana Rwa, milik Desa Pakraman Gamongan, muncul nama Sri Jayasunu yang mengeluarkan pedoman itu disaat rapat besar di Majapahit. Dan beberapa purana lain muncul nama Sri Jayasunu yang menjadi pedoman awal dalam penulisan.

Salinan lontar Aji Murti Siwa Sasana dan Purana Bali Dwipa tersebut diatas tidak secara tegas tahun berapa naskah itu ditulis, siapa yang dimaksud dengan Sri Jayasunu? Siapakah orang tua Sri Jayasunu? Kamus Jawa Kuna, oleh P.J. Zoetmulder (1994:1147), sunu artinya putra, anak, keturunan. Jadi Sri Jayasunu artinya raja keturunan Jaya. Tidak terdapatnya prasasti-prasasti Bali yang dikeluarkan oleh raja Sri Jayasunu, membuat kekaburan perjalanan sejarah keturunan raja-raja Bali Kuno. Yang dimaksud keturunan Jayasunu (turunan jaya) disini adalah turunan dari Sri Jayasakti nama lain Sri Gnijaya Sakti yang menjadi raja Bali pada tahun Isaka 1041/1119 Masehi, yang menurunkan 5 putra. Putra ke dua dari Sri Jaya Sakti bernama Sri Maha Sidhimantradewa, menurunkan putra bernama Sri Dewa Lencana, menurunkan putra Sri Taruna Jaya. Dengan demikian Sri Taruna Jaya adalah turunan Jaya juga, tiga generasi setelah Sri Jaya Sakti. Dari analisis ini Sri Jayasunu adalah turunan Jaya versi purana, identik dengan Sri Taruna Jaya turunan Jaya versi Prasasti Srokodan dan Piagem Dukuh Gamongan. Demikian juga dengan putra dari Sri Jayasunu yaitu Sri Masula-Sri Masuli, dalam prasasti satu pun tidak ada disebutkan atas nama Sri Masula-Sri Masuli, dalam purana Bali Dwipa setelah menjadi raja beliau disebut Bhatara Mahaguru Dharma Hutungga Warmmadewa. 

Demikian juga dengan putra Sri Masula Masuli yaitu Sri Tapa Hulung nama lain Sri Batu Ireng setelah menjadi raja bergelar Sri Astasura Ratna Bumi Banten, menjadi raja Bali tahun Isaka 1250/1328 Masehi, nama kerajaan Batahanar. Jikalau data awal penulisan bersumber dari Purana dan Babad, maka nama Sri Batu Ireng atau Sri Tapa Hulung satu pun tidak ada mengeluarkan prasasti sebagaimana layaknya raja-raja yang lain.

Demikian juga dengan Sri Kbo Iwa dan Sri Karang Buncing. Dalam mitologi yang dikenal masyarakat Bali hingga kini, Kebo Iwa adalah seorang patih sakti pada masa akhir Bali Kuno. Ia digambarkan seorang lelaki bertubuh besar, tinggi, gagah perkasa serta sakti. Kebo Iwa disebut-sebut bertempat tinggal di Blahbatuh, sebelah baratdaya kota Gianyar. Selain sebagai patih sakti, Kebo Iwa dikenal juga sebagai seorang arsitek (undagi). Banyak bangunan-bangunan kuno sebagai hasil karyanya. Tetapi dalam prasasti yang dikeluarkan Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten, satu pun tidak muncul nama Kebo Iwa sebagai mahapatih kerajaan Badhahulu dan kisah kehidupannya.


Secara administratif, dalam Prasasti Langgahan, Isaka 1259/1337 Masehi, yang dikeluarkan oleh Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten, terdapat beberapa senapati (mahapatih) kerajaan yang menyaksikan dikeluarkannya prasasti dikala itu, antara lain, senapati kuturan makakasir mabasa sinom(sang mahapatih di wilayah kuturan bernama makakasir mabasa sinom), sang senapati sarbwa makakasir candri lengis, sang senapati wrasanten makakasir jagatrang, sang senapati dinganga makakasir gagak lpas, dan beberapa senapati lainnya.
  • Kebo Iwa hanyalah sebagai penjaga pos keamanan untuk daerah Batahanar dan Blahbatuh
  • Ki Tambyak penjaga pos keamanan di Jimbaran
  • Ki Bwahan di Batur Si Tunjung Tutur di Tenganan
  • Ki Pasung Grigis di Tengkulak, serta para ksatria lainnya yang menyebar di jagat Bali. 
Sedangkan dalam purana, prakempa, babad, pamancangah, lainnya Kbo Iwa adalah mahapatih kerajaan Badhahulu. Sedangkan dalam Purana Pura Luhur Pucak Padang Dawa, Kebo Iwa diberi sebutanbhatara amurbeng rat, dewa gede kebo iwa, bhatara gede sakti, bhatara guru, dan sebagainya.

Demikian juga dengan Sri Karang Buncing, karena nyineb wangsa (menutup asal usul), sehingga dalam kehidupan sosial di masyarakat ada menyebut, arya karang buncing, gusti karang buncing, prabali karang buncing, pasek karang buncing, sri arya karang buncing, karang gaduh, bendesa karang buncing, arya kedi dan soroh karang, lainnya.

Sekilas dapat disimpulkan, bila penulisan awal sejarah Bali hanya bersumber dari prasasti prasasti yang dikeluarkan oleh raja yang bersangkutan, akan terlihat mereka berkuasa sangat pendek, ini terlihat berdasarkan awal dan akhir tahun prasasti yang dikeluarkan. Dalam prasasti tidak tertulis hubungan kekerabatan raja satu dengan raja yang lainnya, dan tidak kelihatan kisah kehidupan mereka. Sedangkan dalam purana kadang-kadang mereka berkuasa melebihi dari prasasti-prasasti yang dikeluarkan, serta asal asul dan kisah peristiwa yang terjadi kepadanya sangat jelas. Sedangkan apabila hanya purana, piagem, babad, prakempa, pemancangah yang dipakai pedoman dalam penulisan awal sejarah Bali tanpa didukung data sejarah yang dikeluarkan pada zaman orangnya sendiri maka teks itu akan mengambang dalam arti masih diragukan kebenarannya. Hanya orang-orang penting yang berkuasa pada zamannya akan tercatat dalam buku sejarah Bali.

Sri Kbo Iwa dan Sri Karang Buncing banyak mempunyai nama samar, tergantung masyarakat hendak menggambarkan beliau itu dari sisi yang mana, apakah kisah kehidupannya mau dimitoskan, dilecehkan, dipolitisir, dibudayakan, disucikan, atau dihilangkan dan sebagainya, tentunya akan berdampak mendoktrin pikiran generasi selanjutnya tentang perjalanan sejarah Bali.

Runutan nama raja yang berkuasa di Bali, bersumber dari Prasasti, Purana, Piagem, Babad, Prakempa dan Pamancangah lainnya, berikut:
  1. Sri Kesari Warmmadewa (isaka 804-835)
  2. Sri Ugrasena (isaka837-858)
  3. Sri Haji Tabanendra Warmmadewa (877-889).
  4. Sri Jaya Singa Warmmadewa(isaka 892).
  5. Sri Janasadhu Warmmadewa(isaka 897).
  6. Sri Maharaja Cri Wijaya Mahadewi (isaka 905).
  7. Sri Dharmodayana Mahendradata (isaka 911-933).
  8. Sri Sang Ajnadewi (isaka 938)
  9. Sri Wardana Marakata (isaka 944-948).
  10. Sri Haji Hungsu (isaka 971-999).
  11. Sri Walaprabu (isaka 1001-1010).
  12. Sri Sakalindu Kirana (isaka 1010-1023).
  13. Sri Suradhipa (isaka 1037-1041).
  14. Sri Jayasakti (isaka 1055-1072).
  15. Sri Gnijaya (isaka 1072-1077).
  16. Sri Ragajaya (isaka 1077-1099).
  17. Sri Maharaja Haji Jayapangus (isaka 1099-1103).
  18. Sri Hekajaya Lancana (isaka 1103-1122).
  19. Sri Adi Kuti Ketana (isaka 1122-1126).
  20. Sri Adi Dewa Lancana (isaka 1126-).
  21. Sri Indra Cakru (isaka 1172).
  22. Rajapatih Makakasir Kebo Parud (isaka1206-1214).
  23. Rajapatih Sri Jaya Katong (isaka 1214-1218).
  24. Sri Taruna Jaya (isaka 1226).
  25. Sri Masula-Masuli (isaka1246-1250).
  26. Sri Astasura Ratna Bumi Banten (isaka 1259-1265).
  27. Expansi Majapahit (isaka 1265/1343 M).
  28. Kyayi Agung Pasek Gelgel (isaka 1265-1272).
  29. Dalem Samprangan (isaka 1272).
  30. Dalem Gelgel/Sri Kresna Kepakisan (isaka1302).
  31. Dalem Waturenggong (isaka 1382).

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter