Sepi menggelayut saat mengunjungi pemakaman umum di Desa Karang Kelok, Kelurahan Monjok, Kota Mataram. Tampak bangunan bercat biru berada di area pemakaman yang rimbun oleh pepohonan besar. Bangunan biru itu dikelilingi pagar kayu dan sejumlah makam lain.
Terpampang tulisan “Makam Datuk Assyaikh Tuan Guru Haji Ahmat Tretetet bin Tuan Guru Haji Umar Kelayu” pada pintu satu-satunya di depan bangunan biru itu. Begitu pintu dibuka, bau wangi langsung menyeruak dari dalam ruangan. Di dalam ruangan berukuran 4 x 4 meter itu, terdapat makam bertutupkan kain hijau yang kedua nisannya terbungkus kain putih. Di atas makam, terdapat kendi yang terbuat dari tanah liat berisi air.
Tumpukan Al-Quran dan tasbih menghiasi dinding ruangan. Tak jauh dari situ, terpasang bingkai foto bergambar seseorang berpakaian putih dan bersorban putih. Meski pakaiannya terlihat lusuh, sosok bersorban itu tampak tersenyum ramah.
Inak Saiyah, tukang sapu makam itu, menceritakan bahwa sosok dalam bingkai foto itu adalah Tuan Guru Haji Ahmat Tretetet, ulama kharismatis yang dimakamkan di situ. Tretetet yang wafat pada 19 Desember 1985, disapa oleh warga Lombok, Nusa Tenggara Barat, dengan sebutan Tuan Guru Tretetet. “Masyarakat menyebutnya ‘Tretetet’ karena bibirnya selalu mengeluarkan suara ‘tretetet.’ Dia juga biasa mengucapkan kata ‘halal’ sambil tertawa lucu,” tutur Saiyah, Rabu, 3 Agustus 2011.
Saiyah menuturkan, keberadaan makam Ahmat Tretetet cukup mengundang banyak peziarah, baik dari Lombok maupun daerah lain seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, bahkan Jakarta. Meski begitu, warga di sekitar makam melarang para peziarah untuk membawa benda-benda seperti saji, kemenyan, dan kembang. Hal itu demi menjaga agar orang-orang tidak menganggap makam itu sebagai tempat kramat.
“Kalau mau datang untuk berdoa atau berziarah, silakan. Tapi jangan coba-coba berniat lain, seperti minta pesugihan atau nomor togel, dengan membawa kemenyan. Itu dilarang,” tegas Saiyah.
Seorang peziarah bernama Syamsudin, warga Kota Mataram, mengaku sering mengunjungi makam Syaikh Tretetet. Ia mengatakan, hal Itu dilakukan sebagai bentuk kekagumannya terhadap tokoh spiritual yang dikenal dengan kesederhanaannya itu.
Syamsudin menuturkan, Tuan Guru Tretetet adalah sosok yang misterius. Tretetet dikenal sebagai ulama yang berbeda dengan ulama lainnya pada zaman itu. Sebab, selain tidak memiliki murid atau santri seperti kyai-kyai pada umumnya, dia juga selalu berkelana. “Ajarannya cuma satu yang saya ingat, yakni jangan pernah lalai menjalankan salat lima waktu,” ujarnya.
Selama hidupnya, Tretetet dikenal sebagai ulama yang senang dengan anak kecil. Bahkan, tidak jarang dia memberikan sesuatu kepada anak-anak yang ditemuinya di perjalanan. Tretetet juga dikenal sebagai orang yang santun dan murah senyum.
Namun, jika ada keinginannya tidak dipenuhi oleh seseorang, orang tersebut akan mendapat malapetaka. Kemampuannya itulah yang mengundang banyak tokoh ingin berguru dengannya. Tapi hingga akhir hayatnya, Tretetet tak memikiki murid seorang pun. “Dia tidak pernah pergi mengajar. Tapi banyak yang datang untuk menuntut ilmu darinya. Setiap orang yang datang kepadanya selalu disambut senyum dan tawa,” kata Syamsudin.
Makam Ahmat Tretetet, lanjutnya, juga pernah didatangi penjabat pemerintahan. Meski banyak dikunjungi orang, hingga kini makam Tretetet tetap sederhana. Dengan ilmu dan amalnya, warga setempat mengenang Tretetet sebagai contoh manusia yang bermanfaat bagi manusia lain.
Terpampang tulisan “Makam Datuk Assyaikh Tuan Guru Haji Ahmat Tretetet bin Tuan Guru Haji Umar Kelayu” pada pintu satu-satunya di depan bangunan biru itu. Begitu pintu dibuka, bau wangi langsung menyeruak dari dalam ruangan. Di dalam ruangan berukuran 4 x 4 meter itu, terdapat makam bertutupkan kain hijau yang kedua nisannya terbungkus kain putih. Di atas makam, terdapat kendi yang terbuat dari tanah liat berisi air.
Tumpukan Al-Quran dan tasbih menghiasi dinding ruangan. Tak jauh dari situ, terpasang bingkai foto bergambar seseorang berpakaian putih dan bersorban putih. Meski pakaiannya terlihat lusuh, sosok bersorban itu tampak tersenyum ramah.
Inak Saiyah, tukang sapu makam itu, menceritakan bahwa sosok dalam bingkai foto itu adalah Tuan Guru Haji Ahmat Tretetet, ulama kharismatis yang dimakamkan di situ. Tretetet yang wafat pada 19 Desember 1985, disapa oleh warga Lombok, Nusa Tenggara Barat, dengan sebutan Tuan Guru Tretetet. “Masyarakat menyebutnya ‘Tretetet’ karena bibirnya selalu mengeluarkan suara ‘tretetet.’ Dia juga biasa mengucapkan kata ‘halal’ sambil tertawa lucu,” tutur Saiyah, Rabu, 3 Agustus 2011.
Saiyah menuturkan, keberadaan makam Ahmat Tretetet cukup mengundang banyak peziarah, baik dari Lombok maupun daerah lain seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, bahkan Jakarta. Meski begitu, warga di sekitar makam melarang para peziarah untuk membawa benda-benda seperti saji, kemenyan, dan kembang. Hal itu demi menjaga agar orang-orang tidak menganggap makam itu sebagai tempat kramat.
“Kalau mau datang untuk berdoa atau berziarah, silakan. Tapi jangan coba-coba berniat lain, seperti minta pesugihan atau nomor togel, dengan membawa kemenyan. Itu dilarang,” tegas Saiyah.
Seorang peziarah bernama Syamsudin, warga Kota Mataram, mengaku sering mengunjungi makam Syaikh Tretetet. Ia mengatakan, hal Itu dilakukan sebagai bentuk kekagumannya terhadap tokoh spiritual yang dikenal dengan kesederhanaannya itu.
Syamsudin menuturkan, Tuan Guru Tretetet adalah sosok yang misterius. Tretetet dikenal sebagai ulama yang berbeda dengan ulama lainnya pada zaman itu. Sebab, selain tidak memiliki murid atau santri seperti kyai-kyai pada umumnya, dia juga selalu berkelana. “Ajarannya cuma satu yang saya ingat, yakni jangan pernah lalai menjalankan salat lima waktu,” ujarnya.
Selama hidupnya, Tretetet dikenal sebagai ulama yang senang dengan anak kecil. Bahkan, tidak jarang dia memberikan sesuatu kepada anak-anak yang ditemuinya di perjalanan. Tretetet juga dikenal sebagai orang yang santun dan murah senyum.
Namun, jika ada keinginannya tidak dipenuhi oleh seseorang, orang tersebut akan mendapat malapetaka. Kemampuannya itulah yang mengundang banyak tokoh ingin berguru dengannya. Tapi hingga akhir hayatnya, Tretetet tak memikiki murid seorang pun. “Dia tidak pernah pergi mengajar. Tapi banyak yang datang untuk menuntut ilmu darinya. Setiap orang yang datang kepadanya selalu disambut senyum dan tawa,” kata Syamsudin.
Makam Ahmat Tretetet, lanjutnya, juga pernah didatangi penjabat pemerintahan. Meski banyak dikunjungi orang, hingga kini makam Tretetet tetap sederhana. Dengan ilmu dan amalnya, warga setempat mengenang Tretetet sebagai contoh manusia yang bermanfaat bagi manusia lain.
Posting Komentar
Posting Komentar