Sejarahnya berawal pada tahun 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M. A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan RM Ngabehi Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang  (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad  Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu.  Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram  Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan  menambahkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”.
Gambar : Sultan Hamid II
Pada tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang  dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden  Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari  Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap  gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang  perisai dan dianggap bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali – Garuda Pancasila dan disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali – Garuda Pancasila dan disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri.
AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Departemen  Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya  Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet  RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih  “gundul” dan “’tidak berjambul”’ seperti bentuk sekarang ini.
Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes, Jakarta pada 15 Februari 1950.
Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala  burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul”  dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap  ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan  Presiden Soekarno.
Tanggal 20 Maret 1950, bentuk akhir gambar lambang negara yang telah  diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian  memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan  tersebut sesuai bentuk akhir rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid  II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.
Hamid II diberhentikan pada 5 April 1950 akibat diduga bersengkokol dengan Westerling dan APRA-nya.
Hal lain yang juga dilakukan untuk menghilangkan eksistensi Sultan Hamid II adalah perihal siapa yang menjadi desainer dari Lambang Negara Indonesia yang masih terpakai hingga saat ini, yaitu Burung Garuda (biasa juga disebut Garuda Pancasila). Meski sejarah menutup-nutupi, namun sumbangsih Sultan Hamid II selaku perancang Lambang Negara Indonesia tersebut tak boleh dilupakan.
Boleh jadi sejarah dan pencatatan sejarah tidak berpihak kepada  Sultan yang cerdas ini. Begitulah penyakit negara bangsa yang kerap  dengan mudahnya menghilangkan jasa-jasa dan apa-apa yang telah diperbuat  seseorang hanya karena adanya perbedaan pandangan, adanya perbedaan  visi seperti mengenai ideologi dan model/bentuk negara, serta adanya  pertentangan politik akibat perbedaan itu, terutama jika bertentangan  dengan rezim yang berkuasa. Karena rezim yang berkuasalah yang  menentukan seperti apa sejarah hendak dicatat dan diceritakan kepada  generasi berikutnya.



Posting Komentar
Posting Komentar