-->

Tembang Jawa Macapat bagian 1

RAHAYU ....


Untuk Pertama Kalinya Saya Akan mulai mencoba membuat artikel  setelah sekian lama tidak ada artikel yang baru di blog ini.

Hal tersebut sehubungan dengan adanya masa transisi dan pembenahan blog, baik desain maupun isi dari blog yang bertemakan primbon-arti.blogspot.com ini,

Sebelumnya saya mohon maaf untuk para sesepuh kejawen atau para senior pemerhati budaya, apabila dalam tulisan kami nanti ada banyak kekurangan -kekurangan, karena saya masih pemula & masih perlu banyak belajar, Dan saya mohon bimbingan, serta masukannya guna penyempurnaan blog ini serta bertambahnya wawasan saya tentang budaya. 
ini semua saya lakukan semata - mata hanyalah untuk uri - uri budaya, agar budaya kita tidak punah ditelan jaman.

Untuk kali ini saya akan mencoba mengangkat tema tentang Tembang Jawa Macapat,



Macapat


Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. 

Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sanjak akhir yang disebut guru lagu

Macapat dengan nama lain juga bisa ditemukan dalam kebudayaan Bali,Sasak,Madura,dan Sunda. 

Selain itu macapat juga pernah ditemukan di Palembang dan Banjarmasin, 

Biasanya macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata.Namun ini bukan satu-satunya arti, penafsiran lainnya ada pula. 

Seorang pakar Sastra Jawa, Arps menguraikan beberapa arti-arti lainnya di dalam bukunya Tembang in two traditions.

Selain yang telah disebut di atas, arti lainnya ialah bahwa -pat merujuk kepada jumlah tanda diakritis (sandhangan) dalam aksara Jawa yang relevan dalam penembangan macapat.

Kemudian menurut Serat Mardawalagu, yang dikarang oleh Ranggawarsita, macapat merupakan singkatan dari frasa maca-pat-lagu yang artinya ialah "melagukan nada keempat" 

Selain maca-pat-lagu, masih ada lagi maca-sa-lagu, maca-ro-lagu dan maca-tri-lagu.

Konon maca-sa termasuk kategori tertua dan diciptakan oleh para Dewa dan diturunkan kepada pandita Walmiki dan diperbanyak oleh sang pujangga istana Yogiswara dari Kediri.

Ternyata ini termasuk kategori yang sekarang disebut dengan nama tembang gedhé Maca-ro termasuk tipe tembang gedhé di mana jumlah bait per pupuh bisa kurang dari empat 

sementara jumlah sukukata dalam setiap bait tidak selalu sama dan diciptakan oleh Yogiswara. Maca-tri atau kategori yang ketiga adalah tembang tengahan yang konon diciptakan oleh Resi Wiratmaka, pandita istana Janggala dan disempurnakan oleh Pangeran Panji Inokartapati dan saudaranya. Dan akhirnya, macapat atau tembang cilik diciptakan oleh Sunan Bonang dan diturunkan kepada semua wali.

Karya-karya kesusastraan klasik Jawa dari masa Mataram Baru pada umumnya ditulis menggunakan metrum macapat. Sebuah tulisan dalam bentuk prosa atau gancaran pada umumnya tidak dianggap sebagai hasil karya sastra namun hanya semacam 'daftar isi' saja.
Beberapa contoh karya sastra Jawa yang ditulis dalam tembang macapat termasuk Serat Wedhatama, Serat Wulangreh, dan Serat Kalatidha

Puisi tradisional Jawa atau tembang biasanya dibagi menjadi tiga kategori: tembang cilik, tembang tengahan dan tembang gedhé. Macapat digolongkan kepada kategori tembang cilik dan juga tembang tengahan, sementara tembang gedhé berdasarkan kakawin atau puisi tradisional Jawa Kuno, namun dalam penggunaannya di masa Mataram Baru, tidak diterapkan perbedaan antara suku kata panjang ataupun pendek. Di sisi lain tembang tengahan juga bisa merujuk kepada kidung, puisi tradisional dalam bahasa Jawa Pertengahan.

Kalau dibandingkan dengan kakawin, aturan-aturan dalam macapat berbeda dan lebih mudah diterapkan menggunakan bahasa Jawa karena berbeda dengan kakawin yang didasarkan pada bahasa Sanskerta, dalam macapat perbedaan antara suku kata panjang dan pendek diabaikan.

 Bersambung....




Sumber pustaka

  • (Inggris) Bernard Arps, 1992, Tembang in two traditions: performance and interpretation of Javanese literature. London: SOAS
  • (Inggris) Hedi I.R. Hinzler, 1994, Gita Yuddha Mengwi or Kidung Ndèrèt. A facsimile edition of manuscript Cod. Or. 23.059 in the Library of Leiden University. Leiden: ILDEP/Legatum Warnerianum
  • (Indonesia) Karsono H. Saputra, 1992, Pengantar Sekar Macapat. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. ISBN 979-8184-02-5
  • (Inggris) Th. C. van der Meij, 2002, Puspakrema. A Javanese Romance from Lombok. Leiden: CNWS. ISBN 90-5789-071-2
  • (Inggris) Th. Pigeaud, 1967, Literature of Java. Catalogue Raisonné of Javanese Manuscripts in the Library of the University of Leiden and other public collections in the Netherlands. Volume I. Synopsis of Javanese Literature 900 - 1900 A.D. The Hague: Martinus Nyhoff
  • (Jawa) Poerbatjaraka, 1952, Kapustakan Djawi. Djakarta: Djambatan
  • (Belanda) Prijohoetomo, 1934, Nawaruci : inleiding, Middel-Javaansche prozatekst, vertaling vergeleken met de Bimasoetji in oud-Javaansch metrum. Groningen: Wolters
  • (Belanda) J.J. Ras, 1982, Inleiding tot het modern Javaans. Leiden: KITLV uitgeverij. ISBN 90-6718-073-4
  • (Indonesia) I.C. Sudjarwadi et al., 1980, Seni macapat Madura: laporan penelitian. Oleh Team Penelitian Fakultas Sastra, Universitas Negeri Jember. Jember: Universitas Negeri Jember
  • Web
-          Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
-          Web macapat.4t.com
-          sukolaras.wordpress.com

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter