-->

Tafsir Mimpi Menurut Al-Qur`an dan As-Sunnah


Ustadz Abu Sa’ad al-Wa’izh berkata, “Pada prinsipnya mimpi yang baik itu bersumber dari
aneka amal yang benar dan mengingatkan akan aneka akibat dari berbagai urusan. Dari mimpi yang baik itu muncullah aneka perintah, larangan, berita gembira, dan peringatan. Dikatakan demikian karena mimpi yang baik merupakan sisa dan bagian dari kenabian, bahkan ia merupakan satu dari dua bagian kenabian, sebab ada nabi yang wahyunya berupa mimpi. Orang yang menerima wahyu melalui mimpi disebut Nabi. Adapun orang yang menerima ucapan malaikat saat dia terjaga disebut Rasul. Inilah yang membedakan antara nabi dan rasul.” Abu Ali Hamid bin Muhammad bin Abdullah ar-Rafa` memberitahukan kepada kami, dari
Muhammad ibnul-Mughirah, dari Makki bin Ibrahim, dari Hisyam bin Hasan, dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,
“Jika masa semakin dekat, mimpi seorang muslim nyaris tidak pernah dusta. Muslim yang
paling benar mimpinya adalah yang paling jujur perkataannya. Mimpi seorang mukmin merupakan satu bagian dari 46 bagian kenabian. Mimpi ada tiga macam: mimpi yang baik sebagai berita gembira dari Allah ‘azza wa jalla, mimpi seorang muslim yang dialami oleh dirinya sendiri, dan mimpi sedih yang berasal dari setan. Jika salah seorang di antara kamu mengalami mimpi yang tidak disukai, janganlah menceritakannya kepada orang lain, bangunlah, kemudian shalatlah.” (Muttafaq ‘alaih)
Mimpi terbahagi dua: mimpi yang benar dan yang batil. Mimpi yang benar ialah yang dialami manusia tatkala kondisi psikologisnya seimbang dan keadaan cuaca sedang seperti ditandai oleh bergoyangnya pepohonan hingga berjatuhannya dedaunan. Mimpi yang benar tidak didahului dengan adanya pikiran dan keinginan akan sesuatu yang kemudian muncul dalam mimpi. Kebenaran mimpi juga tidak ternodai oleh peristiwa junub dan haid.

Adapun mimpi yang batil ialah yang ditimbulkan oleh bisikan nafsu, keinginan, dan hasrat. Mimpi demikian tidak dapat ditakwilkan. Demikian pula mimpi basahEdan mimpi lain yang mewajibkan mandi dikategorikan sebagai mimpi yang batil karena tidak mengandung makna. Sama halnya dengan mimpi yang menakutkan dan menyedihkan karena berasal dari setan. Allah Ta’ala berfirman,
Sesungguhnya pembicaraan rahsia itu adalah dari setan, supaya orang-orang yang beriman itu berduka cita, sedang pembicarana itu tiadalah memberi mudharat sedikitpun kepada mereka, kecuali dengan izin Allah dan kepada Allahlah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakal.

Jika seseorang mengalami mimpi yang tidak disukai, disunnahkan melakukan lima perbuatan. Yaitu, mengubah posisi tidur, meludah ke kiri sebanyak tiga kali, memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk, bangun dan shalat, dan tidak menceritakan mimpinya kepada siapa pun.

Ustadz Abu Sa’ad berkata, “Pelaku mimpi hendaknya memelihara etika yang perlu
dipegang teguh dan memiliki batasan-batasan yang selayaknya tidak dilampaui.
Demikian pula halnya dengan pentakwil.
Etika pelaku mimpi ialah, pertama, dia tidak menceritakan mimpinya kepada orang yang hasud sebagaimana dikatakan Yakub kepada Yusuf, Ayahnya berkata, Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka akan membuat makar untuk membinasakanmu.(Yusuf: 5)
Kedua, jangan menceritakan mimpinya kepada orang yang bodoh. Nabi saw bersabda, Janganlah kamu menceritakan mimpimu kecuali kepada orang yang dicintai atau kepada orang yang pandai.
Ketiga, janganlah menceritakan mimpi kecuali secara rahasia karana dia pun melihatnya secara rahasia pula. Jangan menceritakannya kepada anak-anak dan wanita. Sebaiknya mimpi itu diceritakan menjelang awal tahun dan pada pagi hari, bukan sesudah keduanya lewat.

Adapun etika pentakwil ialah sebagai berikut.

Pertama, jika saudaranya menceritakan mimpi kepadanya, maka katakanlah, Aku kira mimpi itu baik.
Kedua, hendaknya mentafsirkan mimpi dengan cara yang paling baik. Diriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, Mimpi akan terjadi sebagaimana ia ditafsirkan. Juga diriwayatkan bahwa beliau bersabda, Mimpi itu bagaikan kaki yang menggantung selama belum diungkapkan. Jika telah diungkapkan, maka terjadilah. Demikian yang disebut dalam as-Silsilah ash-Shahihah.
Ketiga, menyimak mimpi dengan baik, kemudian menjawab si penanya dengan jawaban
yang mudah dipahami.
Keempat, jangan tergesa-gesa mentafsirkan mimpi. Lakukanlah dengan hati-hati.
Kelima, menyembunyikan mimpi dan tidak menyebarkannya sebab ia merupakan
amanat. Jangan mentafsirkan mimpi ketika matahari terbit, ketika tergelincir,
dan ketika terbenam.
Keenam, memperlakukan pelaku mimpi secara berbeda. Janganlah mentafsir mimpi
raja seperti mentafsir mimpi rakyat, sebab mimpi itu berbeza karana perbezaan kedudukan pelakunya.
Ketujuh, merenungkan mimpi yang dikemukakan kepadanya. Jika mimpi itu baik, maka tafsirkanlah dan sampaikanlah kabar gembira kepada pelakunya. Jika mimpi itu buruk, maka janganlah mentafsirnya atau tafsirlah bagian mimpi yang paling baik. Jika sebagian mimpi itu merupakan kebaikan dan sebagian lagi keburukan, maka bandingkanlah keduanya, lalu ambillah mimpi yang paling tepat dan paling kuat pokoknya. Jika pentafsir mengalami kesulitan, bertanyalah kepada pelaku mimpi ihwal namanya, lalu tafsirlah berdasarkan namanya itu.
There is no other posts in this category.

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter