-->

tri murti brahma wisnu siwa

tri murti brahma wisnu siwa


Menurut arti katanya, Trimūrti adalah “Tiga Badan”, dan maksudnya adalah tiga kekuatan Brahman (Sang Hyang Widhi, sebutan Tuhan dalam agama Hindu) dalam menciptakan, memelihara, melebur alam beserta isinya.

Trimurti terdiri dari 3 yaitu: 


Dewa Brahma
  • Fungsi: Pencipta / Utpathi 
  • Sakti: Dewi Saraswati yang merupakan dewi ilmu pengetahuan 
  •  Senjata: Busur 
  • Simbol: A (ang)
  • Warna: Merah

Dewa Wisnu
  • Fungsi: Pemelihara / Sthiti 
  • Sakti: Dewi Laksmi atau Sri 
  • Senjata: Cakram 
  • Simbol: U (ung)
  • Warna: Hitam

Dewa Siwa
  • Fungsi: Penghancur / Pralina 
  • Sakti: Dewi Durga, Uma, dan Parwati 
  • Senjata: Trisula 
  • Simbol: M (mang)
  • Warna: Manca Warna
tapi akan berbeda posisinya saat kita membicarakan Dewata Nawa Sanga. Apabila simbol dari ketiga dewa tesebut digabungkan, maka akan menjadi AUM yang dibaca "OM" ( ॐ ) yang merupakan simbol suci agama Hindu.

Di antara ketiga dewa tertinggi itu hanya Wi şņu dan Çiwa yang mendapat pemujaan luar biasa. Hal ini adalah wajar mengingat bahwa yang dihadapi manusia adalah apa yang sudah tercipta. Oleh karena itu, dewa pencipta dengan sendirinya terdesak oleh kepentingan manusia, yang lebih memperhatikan berlangsungnya apa yang sudah tercipta itu. Pun kenyataan bahwa segala apa akan binasa karena waktu, selalu memenuhi perhatian manusia.

Di antara para pemeluk agama Hindu, separuhnya lebih-lebih memuja Wisnu, separuhnya lagi memuja Çiwa. Para pemuja Wişņu (golongan Waşņawa) dan para pemuja Çiwa (golongan Çaiwa) tidak mengingkari kedudukan Trimurti, tidak pula beranggapan bahwa Wişņu dan Çiwa adalah dewa yang satu-satunya. Hanyalah ada pendapat bahwa bagi golongan Waişņawa, Çiwa itu adalah Wişņu dalam bentuknya sebagai dewa pembinasa, sedangkan sebaliknya bagi golongan Çaiwa, Wişņu adalah Çiwa sebagai pemelihara alam semesta.


Pada umumnya dapat dikatakan bahwa dalam Trim ūrti itu Çiwa yang dianggap sebagai dewa tertinggi atau Mahadewa atau Maheçwara. Memang sebagai dewa waktu atau Mahakala, ia sangat berkuasa oleh karena waktulah yang sesungguhnya mengadakan, melangsungkan, dan membinasakan. Segala apa terikat kepada waktu, ada tidaknya sesuatu tergantung kepada waktu. Sifat-sifat keagungan dan kedahsyatan dalam ruang dan waktu yang tak terbatas itulah yang menundukkan manusia untuk menginsyafi kekecilannya di dalam alam semesta. Maka pemujaan kepada Çiwa itu selalu disertai permohonan akan kemurahannya dan rasa takut tidak dapat dihindarkan.

Sesuai dengan beraneka macamnya sifat yang berpadu dalam Içwara sebagai Yang Maha Kuasa maka kecuali sebagai Mahadewa, Maheçwara, dan Mahakala, Çiwa juga dipuja sebagai Mahaguru dan Mahayogi; yang menjadi teladan serta pemimpin para pertapa. Serta, sebagai Bhairawa yang siap untuk merusak membinasakan segala apa yang ada.

Berlainan sekali sifatnya adalah Wi şņu. Dalam segala bentuk dan perwujudannya, ia tetaplah dewa yang memlihara dan melangsungkan alam semesta. Maka, sebagai penyelenggara dan pelindung dunia, ia digambarkan setiap saat siap untuk memberantas semua bahaya yang mengancam keselamatan dunia. Untuk keperluan ini, Wişņu turun ke dunia dalam bentuk penjelmaan yang sesuai dengan bahayanya sebagai awatara.

Kecuali Trimūrti, masih banyak dewa-dewa lainnya. Sebagian besar daripadanya adalah dewa-dewa yang sudah dikenal dari zaman Weda sebelumnya, beberapa diantaranya sudah berubah sifatnya. Sebagai contoh, Waruna yang tak lagi sebagai dewa angkasa seperti di zaman Weda, melainkan telah berubah menjadi dewa laut. Sebagian lagi adalah dewa-dewa yang mula-mula dipuja setempat-setempat.

Dewa Brahma


Brahma yang dikenal sebagai salah seorang dewa Trimūrti ini bila dibandingkan dengan dewa-dewa Trimūrti lainnya, yaitu Çiwa dan Wişņu, tidaklah sebesar dan sepenting keduanya. Tidak ada kuil atau bangunan suci untuk memujanya, juga tidak ada aliran yang khusus memuja Brahma seperti yang terjadi pada aliran-aliran Çiwait maupun Wişņuit.

Walaupun tidak ada bangunan suci yang diperuntukkan kepadanya, dalam relung-relung kuil-kuil untuk Çiwa dan Wişņu, umumnya di relung utara diletakkan arca Dewa Brahma yang kadang-kadang juga dipuja.

Brahma adalah dewa yang menduduki tempat pertama dalam susunan dewa-dewa Trimūrti, sebagai dewa pencipta alam semesta.

Mitologi tentang Brahma muncul pertama kali dan berkembang pada zaman Brahmāna. Brahma dianggap sebagai perwujudan dari Brahman, jiwa tertinggi yang abadi dan muncul dengan sendirinya.

Menurut kitab Satapatha Brahmāna, dikatakan bahwa Brahmalah yang menciptakan, menempatkan, dan memberi tugas para dewa. Sebaliknya, di dalam kitab Mahabharata dan Purana dikatakan bahwa Brahma merupakan leluhur dunia yang muncul dari pusar Wisnu. Sebagai pencipta dunia, Brahma dikenal dengan nama Hiranyagarbha atau Prajapati.

Pencipta dunia

Dalam ajaran-ajaran Weda dikatakan bahwa pada mulanya di saat dunia masih diselubungi oleh kegelapan, ketiak belum tercipta apa pun, Ia, makhluk yang ada dengan sendirinya yang tanpa awal dan akhir, berkeinginan mencipta alam semesta dari tubuhnya sendiri.

Mula-mula ia menciptakan air, kemudian menyebarkan bermacam-macam benih-benihan. Dari benih-benih ini kemudian muncul telur emas yang bersinar seperti cahaya matahari. Dari telur emas inilah Brahma lahir yang merupakan perwujudan dari Sang Pencipta itu sendiri. Menurut kitab Wişņu Purāna, telur emas itu merupakan tempat tinggal Sang pencipta selama ribuan tahun yang akhirnya pecah, dan muncullah Brahma dari dalamnya untuk mencipta dunia dengan segala isinya.

Brahma, seperti juga Çiwa dan Wişņu, memiliki bermacam-macam nama sebutan, di antaranya adalah Atmabhu (yang ada dengan sendirinya), Annawūrti (pengendara angkasa), Ananta (yang tiada akhir), Bodha (guru), Bŗhaspat (raja yang agung), Dhātā (pencipta), Druhina (sang pencipta), Hiranyagarbha (lahir dari telur emas), Lokesha (raja seluruh dunia), Prajāpati (raja dari segala makhluk), dan Swayambhū (yang ada dengan sendirinya). Di dalam mitologi Hindu dikatakan bahwa wahana (kendaraan) Brahma adalah hamsa (angsa).

Binantang-binantang yang dijadikan sebagai kendaraan para dewa pada kenyataannya merupakan manifestasi dari sifat-sifat para dewa itu sendiri. Hamsa adalah simbol dari “kebebasan” untuk hidup kekal. Sifat seperti ini dimiliki oleh Brahma. Hamsa merupakan binatang yang dapat hidup di dua alam, dapat berenang di air, dan terbang ke angkasa. Di air ia dapat berenang semaunya dan di angkasa ia dapat terbang ke mana saja ia suka. Ia mempunyai kebebasan, baik di bumi (= air) maupun di angkasa.

Dewa berkepala empat

Brahma dikenal juga sebagai dewa berkepala empat dengan masing-masing muka menghadap keempat arah mata angin. Keempat muka Brahma merupakan simbol dari empat kitab Weda, empat Yuga, dan empat warna. Karena memiliki empat kepala, brahma juga dikenal sebagai catur anana atau catur mukha atau asta karna (delapan telinga).

Kitab Matsya Purana menyebutkan bahwa kepala Brahma berjumlah lima, tapi tinggal empat karena dipotong Çiwa. Dalam kitab ini diceritakan bahwa Brahma mencipta seorang wanita dari tubuhnya sendiri yang diberinya lima buah nama; Satarupā, Sawitri, Saraswatī, Gāyatri, dan Brāhmani. Karena cantiknya, Brahma merasa tertarik, sehingga sang dewi terus dipandang. Satarupā yang merasa terus diperhatikan menghindar ke sebelah kanan.

Dewa Brahma sebagai dewa besar malu untuk menoleh ke kanan dan karena itu muncul kepala Brahma ke dua di sebelah kanan. Begitu pula ketika Satarupā menghindar ke kiri, ke belakang, dan akhirnya muncul kepala Brahma yang kelima ketika Satarupā menghindar dengan terbang ke angkasa.

Menurut kitab Padma Purāna, ketika terjadi perselisihan antara Brahma dan Wişņu, Çiwa datang melerai keduanya dengan mengabulkan permintaan keduanya. Brahma sangat gembira, sehingga lupa memberi penghormatan kepada Çiwa. Çiwa merasa kurang senang lalu menghampiri Brahma dan kemudian memotong salah satu kepalanya dengan kuku jari kirinya dan berkata’ “Kepala ini terlalu terang, akan memberikan kesulitan kapada dunia karena sinarnya yang terang melebihi seribu cahaya matahari.”

Dewa Wisnu


Dalam agama Hindu, Wişņu merupakan salah satu dewa Trimurti yang dianggap sebagai dewa pemelihara dunia. Pemujaan terhadap Wişņu telah disinggung dalam Ŗg-Weda, Yajur-Weda, Sama-Weda, dan Atharwa-Weda. Dalam kitab-kitab itu, Wişņu belum dianggap sebagai dewa yang tinggi kedudukannya seperti pada masa selanjutnya.

Dikatakan bahwa Wişņu mempunyai sifat sebagai matahari, dan telah mengunjungi tujuh bagian dunia. Ia mengelilingi dunia dengan tiga langkah (tiwikrama).
Wişņu merupakan dewa yang menjelma dalam tiga wujud; api, halilintar, dan sinar matahari. Ketiga wujud ini menunjukkan tiga wujud perjalanan matahari; terbit, mencapai cakrawala (zenit), dan terbenam.
Kedudukan Wişņu sebagai dewa matahari dalam agama Hindu masih dikenal dalam bentuk samar-samar. Penyembahan pada Wişņu dalam bentuk matahari biasanya disebut Surya Narayana. Pemujaan Surya Narayana pada umumnya dilakukan pada hari Minggu dan pada hari-hari besar tertentu.

Dalam kitab Ŗig-Weda disebutkan bahwa Wişņu merupakan pelindung. Dari sinilah asal mula benih-benih yang kemudian berkembang menuju semakin tingginya kedudukan Wişņu di masa kemudian. Wişņu kadang-kadang dianggap sebagai korban yajŋa, sehingga ia disebut sebagai Yajŋa Narayana.

Tiga dewa serangkai yang disebut dalam kitab Weda sebagai prototype dari dewa Trimurti pada masa kemudian adalah Agni sebagai dewa dunia, Wayu sebagai dewa angkasa, dan Surya sebagai dewa langit. Hal itu didasarkan pada tugas Trimurti, yaitu membinasakan, yang biasa dilakukan oleh Çiwa, yang intinya dapat ditemukan dalam kekuatan yang dimiliki oleh angin ribut (Wayu). Bersama dengan Dewa Wayu yang dianggap sebagai dewa angin, dipuja pula Dewa Indra sebagai dewa matahari atau dewa dari angkasa yang terang benderang. Angkasa yang terang benderang ini dikuasai oleh Wişņu dan Indra. Menurut kitab Weda, Wisnu menerima warna biru dari Indra. Berkat Indra pulalah Wişņu mendapat sebutan Wasudewa.

Demikian juga melalui Indra, dihubungkan dengan pahlawan dunia. Dari kitab Mahābhārata dapat diketahui pertumbuhan Wişņu yang semakin meningkat. Wişņu yang mula-mula sebagai dewa matahari, kemudian meningkat menjadi salah satu dewa Trimurti dan kemudian menjadi tokoh sentral.
Sejarah perkembangan kedudukan Wişņu dapat diikuti dengan jelas dalam kesusastraan India Kuno. Dalam epik Mahābhārata, Krsna dan Arjuna, meskipun tidak jelas hubungannya dengan Surya, dan berdasarkan sifat-sifat Indra yang menjadi dewa langit dapat diketahui dengan samar-samar hubungannya antara Surya dan Wişņu melalui Indra.

Kedudukan Wişņu yang tinggi dan anggapan bahwa Wişņu merupakan salah satu dari Dewa Trimurti dapat ditemukan dalam kitab-kitab Itihasa dan Purana serta kitab-kitab kesusastraan India yang membicarakan tentang ilmu arca.

Wişņu sebagai pemelihara dunia Wişņu sebagai pemelihara dunia kerap turun ke dunia untuk menolong dunia dari kehancuran. Dalam upaya menolong dunia, Wişņu turun ke dunia untuk beremanasi atau menjelma dalam bentuk manusia atau benda. Dalam penjelmaannya ini Wişņu dapat menjelma penuh, sebagai manusia dan berlangsung dalam jangka waktu lama (umumnya disebut ber-awatāra), sementara (umumnya disebut awesa), atau memancarkan sebagian kekuatannya pada benda-benda tertentu yang dianggap keramat (umumnya disebut amsa).

Awatāra Wişņu misalnya turun sebagai Rama, Arjuna, dan Kŗşna. Sementara, awesa Wişņu adalah sebagai Paraçurama yang turun ke dunia untuk menindas pemberontakan para ksatria. Dalam waktu yang relatif pendek, Paraçurama dapat menyelesaikan tugasnya. Tidak lama sesudah dapat menyelesaikan tugasnya, Paraçurama bertemu dengan Raghurama, kepada siapa ia menyerahkan segala “kedewataannya”, sehingga ia tidak mempunyai tugas lagi dan tidak dimasuki kekuatan Dewa Wişņu lagi.
Wişņu pun dapat memancarkan sebagian kekuatannya untuk menolong dunia ke dalam bentuk senjata, misalnya sankha dan cakra. Kedua senjata itu diyakini dapat memberikan perlindungan seperti layaknya Dewa Wişņu itu sendiri. Kedua benda itu mempunyai sifat-sifat kedewataan yang dijelmakan ke dunia sebagai benda keramat.

Awatāra Wişņu Dalam beberapa kesusastraan, kita kenal bermacam-macam awatara Wişņu, diantaranya yang terkenal ada sepuluh yang lebih dikenal dengan sebutan Dasawatāra Wişņu, seperti yang terdapat dalam kitab Waraha Purana. Sebaliknya dalam kitab Bhagawata Purana disebutkan sebanyka 22 awatāra. Menurut kepercayaan Hindu India, dasawatāra dianggap berhubungan dengan sepuluh macam kejadian di dunia, ketika Wişņu bertugas menghancurkan berbagai rintangan yang menghalangi perputaran dunia. Kesembilan di antaranya sudah terjadi, sedangkan yang kesepuluh belum terjadi. Kesepuluh awatāra Wişņu menurut Waraha Purana itu adalah:
  1. Matsya awatāra – Sebagai ikan (matsya), Wişņu meolong Manu, yaitu manusia pertama, untuk menghindarkan diri dari air bah yang menelan dunia.
  2. Kurma awatāra – Sebagai kura-kura (kurma), Wişņu berdiri di atas dasar laut menjadi alas bagi Gunung Mandara yang dipakai oleh para dewa untuk mengaduk lautan dalam usaha mereka mendapatkan amrta atau air penghidup.
  3. Waraha awatāra – Ketika dunia ditelan laut dan ditarik ke dalam kegelapan patala (dunia bawah), Wişņu menjadi babi hutan (waraha) dan mengangkat dunia kembali ke tempatnya.
  4. Narasimha awatāra – Hiranyakasipu, seorang raksasa, dengan sangat lalimnya menguasai dunia. Kesaktiannya yang luar biasa menjadikan ia tak dapat dibununh oleh dewa, manusia, maupun binatang, tak dapat mati di waktu siang dan juga malam. Maka, untuk memberantasnya, Wişņu menjelma menjadi singa-manusia (narasimha) dan dibunuhnya Hiranyakasipu pada waktu senja.
  5. Wamana awatāra – Wişņu menjelma sebagai orang kerdil (wamana) dan meminta kepada Daitya Bali yang denagn sangat lalim memerintah dunia supaya kepadanya diberikan tanah seluas tiga langkah. Setelah diizinkan maka dengan tiga langkah (tiwikrama) ini ia menguasai dunia, angkasa, dan surga. Di sini tampak Wişņu sebagai Dewa Matahari, yang “menguasai” dunia dengan tiga langkahnya; waktu terbit, waktu tengah hari, dan waktu terbenam.
  6. Paraçurama awatāra – Wişņu menjelma sebagai Rama bersenjatakan kapak (paraçu) dan menggempur golongan ksatria sebagai balas dendam terhadap penghinaan yang dialami oleh ayahnya, seorang brahmana, dari seorang raja (kasta ksatriya). Tampak suatu “reaksi” terhadap revolusi zaman Upanisad.
  7. Rama awatāra – Rama titisan Wişņu ini adalah yang terkenal dari cerita Ramayana. Yang mengancam kerselamatan dunia adalah Rawana atau Dasamukha.
  8. Kŗşna awatāra – Kŗşna ini terkenal dari Mahābhārata, sebagai raja titisan Wişņu yang membantu para Pandawa menuntut keadilan dari para Kurawa.
  9. Buddha awatāra – Wişņu menjelma sebagai putra raja Sododana di Kapilawastu India dengan nama Sidharta Gautama yang berarti telah mencapai kesadaran yang sempurna. Budha Gautama menyebarkan ajaran Budha dengan tujuan untuk menuntun umat manusia mencapai kesadaran, penerangan yang sempurna atau Nirwana..
  10. Kalkya / Kalki awatāra – Keadaan dunia saat ini sangat buruk dan akan tiba saatnya nanti kejahatan itu akan mencapai puncaknya, sehingga dunia terancam kemusnahan. Pada saat itulah maka Wişņu akan menjelma sebagai Kalki dan dengan menunggang kuda putih dan membawa pedang terhunus ia akan menegakkan kembali keadilan dan kesejahteraan di atas dunia ini.

Dewa Siwa


Çiwa dalam mitologi Hindu dikenal sebagai dewa tertinggi dan banyak pemujanya. Mitos Çiwa dapat dijumpai dalam beberapa kitab suci agama Hindu, yakni kitab-kitab Brāhmana, Mahābhārata, Purāna, dan Āgama.
Dalam kitab Hindu tertua, Weda Samhita, walaupun nama Çiwa sendiri tidak pernah dicantumkan, tetapi sebenarnya benih-benih perwujudan tokoh Çiwa itu sendiri telah ada, yaitu Rudra.

Dalam Ŗg-Weda salah satu Weda Samhita, disebutkan Rudra sebagai dewa perusak dan tergolong sebagai dewa bawahan. Rudra dikenal sebagai penyebab kematian, dewa penyebab dan penyembuh penyakit, juga dianggap sebagai desa yang menguasai angin topan. Untuk mencegah terjadinya hal-hal buruk itu maka Rudra dipuja secara istimewa dengan doa-doa khusus untuk menenangkan dan menghilangkan kemarahannya.
Namun, sebagai dewa rendahan, walaupun banyak dipuja, Rudra belumlah merupakan dewa tertinggi dan dianggap penting. Pada waktu itu yang dianggap sebagai dewa tertinggi dan dianggap penting adalah Indra. Baru pada kitab Brāhmana, Rudra diberi nama Çiwa dan kedudukannya pun terus meningkat, sehingga menjadi dewa utama.

Kelahiran Rudra

Kitab Satapatha-Brāhmana menceritakan tentang kelahiran Rudra. Diceritakan bahwa ada seorang kepala keluarga bernama Prajapati yang memiliki seorang anak laki-laki. Sejak lahir, anak itu menangis terus, dia merasa tidak terlepaskan dari keburukan karena tidak diberi nama oleh ayahnya. Kemudian Prajapati memberinya nama Rudra, yang berasal dari akar kata rud yang artinya menangis.
Kisah kelahiran Rudra ini bisa dijumpai pula dalam kitab-kitab Weda Samhita dan kitab Wişņu-Purāna. Tersebutlah Brahmā sedang marah kepada anak-anaknya yang diciptakannya pertama kali, yang tidak menghargai arti penciptaan dunia bagi semua makhluk. Akibat kemarahannya itu tiba-tiba dari kening Brahma muncul seorang anak yang bersinar seperti matahari. Anak yang baru “lahir” itu diberi nama Rudra. Dari tubuhnya yang setengah laki-laki dan setengah perempuan itu “lahir” anak berjumlah sebelas orang. Badan Rudra yang berjumlah sebelas itu, menurut kitab Wişņu-Purāna merupakan asal mula Ekadasa Rudra.
Riwayat kelahiran Rudra menurut Mārkandeya Purāna disebabkan oleh keinginan Brahmā untuk mempunyai anak yang menyerupai dirinya. Untuk mencapai tujuan tersebut, Brahmā pergi bertapa. Tengah bertapa, tiba-tiba muncul seorang anak laki-laki berkulit merah kebiru-biruan menangis di pangkuannya. Ketika ditanya mengapa, anak itu menjawab bahwa ia menangis karena minta nama. Brahmā memberinya nama Rudra. Namun, ia tetap menangis dan meminta nama lagi. Itu dilakukannya hingga tujuh kali, sehingga Brahmā memberi tujuh nama, masing-masing Bhawa, Sarwa, Isāna, Pasupati, Bhîma, Ugra, dan Mahādewa, di samping Rudra. Kedelapan nama itu adalah nama-nama aspek Çiwa dalam kelompok Murtyastaka. Kisah yang sama terdapat dalam Wisnu-Purāna.

Çiwa Mahādewa

Dalam kitab Mahābhārata, Çiwa lebih sering disebut sebagai Mahādewa, yaitu dewa tertinggi di antara para dewa. Kitab itu juga menjelaskan asal mula Çiwa mendapatkan sebutan demikian. Pada suatu waktu, para dewa menyuruh Çiwa membinasakan makhluk-makhluk jahat yang tinggal di Tripura. Untuk menghadapi makhluk-makhluk itu, Çiwa diberi setengah kekuatan dari masing-masing dewa, dan setelah dapat memusnahkan makhluk-makhluk itu, Çiwa dianggap sebagai dewa tertinggi.
Pertama kalinya Çiwa atau Rudra disebut Mahadewa terdapat dalam Yajur-Weda putih. Dalam Mahābhārata bagian Bhismaparwa, Çiwa yang digambarkan berada di Gunung Meru, dikelilingi Umā beserta pengikutnya itu disebut Pasupati (sloka 219b). Sementara, sebutan Maheswara ada dalam kitab Mahabharata sloka 222a. Sebutan lain untuk Çiwa adalah Trinetra, yang artinya bermata tiga. Sebutan ini didapatkan Çiwa ketika dari keningnya “muncul” mata ketiga untuk “mengembalikan” keadaan dunia seperti keadaan semula, yang “terganggu” karena kedua matanya tertutup oleh kedua tangan Parwati, yang ketika itu asyik bercengkerama dengan Çiwa. Untuk mengembalikan keadaan dunia, Çiwa menciptakan mata ketiga pada keningnya.

Çiwa Trinetra

Uraian tentang Çiwa Trinetra juga dijumpai dalam kitab Mahābhārata. Kitab Linga-Purana menjelaskan timbulnya mata ketiga Çiwa. Sati, anak Daksa istri pertama Çiwa bunuh diri dengan cara terjun ke dalam api karena ayahnya, Daksa tidak menghiraukan Ciwa, suaminya. Karena peristiwa itu, Çiwa pergi bertapa di atas Gunung Himalaya. Parvati, anak Himawan yang jatuh cinta kepada Çiwa sebenarnya adalah Sati “yang lahir kembali”. Sementara itu, makhluk jahat asura Tataka mulai mengganggu para dewa. Menurut ramalan, yang dapat membinasakan makhluk jahat itu hanyalah anak Çiwa. Dalam kebingungan, para dewa memutuskan untuk “membangunkan” Çiwa. Mereka sepakat meminta pertolongan Dewa Kāma. Dengan upayanya, berangkatlah para dewa disertai Parwati ke tempat Çiwa bertapa. Karena keampuhan panah Dewa Kāma, Çiwa “terbangun”. Çiwa yang sedikit terusik oleh perbuatan Kama membuka mata ketiganya yang menyemburkan api. Api itu membakar Kāma hingga menjadi abu. Pada saat yang bersamaan karena keampuhan panah Kāma, Çiwa “jatuh cinta” pada Parwati. Rati, istri Dewa Kāma yang mendengar kematian suaminya datang menghadap Çiwa dan mohon untuk menghidupkan kembali Kāma. Untuk menghibur rati, Çiwa berjanji bahwa Kāma kelak akan lahir kembali sebagai Pradhyumna. Kisahnya diakhiri dengan pernikahan Çiwa dan Parwati, serta kelahiran Kumara atau Subrahmanya yang dapat membunuh Tataka.

Çiwa Nilakantha

Çiwa disebut juga Nilakantha karena mempunyai leher yang berwarna biru. Diceritakan pada waktu diadakan pengadukan lautan susu untuk mendapatkan amrta, turut keluar racun yang dapat membinasakan para dewa. Untuk menyelamatkan para dewa, Çiwa meminum racun itu. Parwati yang khawatir suaminya binasa, menekan leher Çiwa agar racun tidak menjalar ke bawah. Akibatnya racun itu terhenti di tenggorokan dan meninggalkan warna biru pada kulit lehernya. Sejak itulah Çiwa mendapatkan sebutan baru, Nilakantha.

Asal Mula Atribut Çiwa
Kitab Suprabhedagama menguraikan mengapa Çiwa mengenakan pakaian kulit harimau, hiasan berupa ular, kijang, dan parasu, serta memakai hiasan bulan sabit, dan tengkorak pada mahkotanya. Pada suatu waktu, Çiwa pergi ke hutan dengan menyamar sebagai pengemis. Istri para pendeta yang kebetulan melihatnya jatuh cinta, sehingga para pendeta marah. Dengan kekuatan magisnya mereka menciptakan seekor harimau yang diperintahkan untuk menyerang Çiwa, tapi dapat dibinasakan dan kulitnya dipakai Çiwa sebagai pakaiannya. Melihat Çiwa bisa mengalahkan harimau ciptaannya, mereka makin marah dan menciptakan seekor ular. Ular itu dapat ditangkap Çiwa dan dibuat perhiasan. Setelah kedua usaha itu gagal, mereka menciptakan kijang dan parasu, tapi kali inipun Çiwa dapat melumpuhkan serangan para pendeta itu. Sejak kejadian itu, kijang dan parasu menjadi dua di antara laksana (atribut) Ciwa. Kitab Kurma Purana menjelaskan asal mula Çiwa mendapat julukan Gajasura-samharamurti. Dikisahkan beberapa orang pendeta sedang bertapa diganggu makhluk jahat yang menjelma sebagai gajah. Çiwa yang dimintai pertolongannya dapat membunuh gajah jelmaan itu. Çiwa yang mengenakan pakaian kulit gajah yang dibunuhnya lalau dikenal sebagai Gajasurasamharamurti.

Kitab Kamikagama mengungkapkan mengapa dalam pengarcaannya, Çiwa mengenakan hiasan bulan sabit pada jatāmakutanya (mahkota). Datohan, salah seorang putra Brahmā, menikahkan keduapuluh tujuh (=konstelasi bintang) anak perempuannya pada Santiran, Dewa Bulan. Dia minta agar menantunya memperlakukan semua istrinya sama dan mencintainya tanpa membeda-bedakan. Selama beberapa waktu, Santiran hidup bahagia bersama istri-istrinya, tanpa membeda-bedakan mereka. Dua di antara seluruh istrinya, Kartikai dan Rogini adalah yang tercantik. Lama-kelamaan, tanpa disadarinya, Santiran lebih memperhatikan keduanya dan mengabaikan istri-istrinya yang lain. Merasa tidak diperhatikan, mereka mengadu pada ayah mereka. Datohan mencoba menasihati menantunya agar mengubah sikap, tapi tidak berhasil. Setelah berunlangkali Santiran diingatkan dan tidak mengindahkan, Datohan menjadi marah dan mengutuh menantunya; keenam belas bagian tubuhnya akan hilang satu per satu sampai akhirnya dia akan hilang, mati. Ketika bagian tubuhnya tinggal seperenam belas bagian, Santiran menjadi panik dan pergi minta tolong dan perlindungan Intiran. Intiran tidak dapat menolong. Dalam keadaan putus asa, dia menghadap dewa Brahmā yang menasihatinya agar pergi menghadap Çiwa. Santiran langsung menuju Gunung Kailasa dan mengadakan pemujaan untuk Çiwa. Çiwa yang berbelas kasihan kemudian mengambil bagian tubuh Santiran itu dan diletakkan di dalam rambutnya sambil berkata, “Jangan khawatir, Anda akan mendapatkan kembali bagian-bagian tubuh Anda. Namun, itu akan kembali hilang satu per satu. Perubahan itu akan berlangsung terus.” Demikianlah dalam pengarcaannya rambut Çiwa dihiasi bagian tubuh Santiran yang berbentuk bulan sabit di samping tengkorak (ardhacanrakapala). Selain mata ketiga dan hiasan candrakapala, Çiwa juga dikenal mempunyai kendaraan banteng atau sapi jantan.

Sapi Jantan Wahana Çiwa

Kitab Mahābhārata menguraikan asal mula sapi jantan atau banteng menjadi kendaraan Çiwa dalam dua versi. Versi pertama, Bhisma menjelaskan kepada Yudistira mengenai asal mula sapi jantan menjadi wahana Çiwa. Daksa, atas perintah ayahnya, yakni Brahmā, menciptakan sapi. Çiwa yang sedang bertapa di dunia terkena susu yang tumpah dari mulut anak sapi yang sedang menyusu pada induknya. Untuk menjaga agar Çiwa tidak marah, Dakasa menghadiahkan seekor sapi jantan pada Çiwa. Çiwa sangat senang menerima pemberian itu dan dijadikannya kendaraan. Versi kedua, mirip cerita di atas, hanya peran Daksa dipegang oleh Brahmā. Di sini Çiwa menjawab pertanyaan Uma mengapa kendaraan Çiwa itu adalah banteng dan bukan binatang lain. Dikisahkan pada waktu penciptaan pertama, semua sapi berwarna putih dan sangat kuat. Mereka berjalan-jalan penuh kesombongan. Tersebutlah Çiwa sedang bertapa di Pegunungan Himalaya dengan cara berdiri di atas satu kaki dengan lengan diangkat. Sapi-sapi yang sombong itu berjalan bergerombol di sekeliling Çiwa, sehingga ia kehilangan keseimbangan. Atas kejadian itu, Çiwa sangat marah dan dengan mata ketiganya ia membakar sapi-sapi yang sombong itu, sehingga warna mereka berubah hitam. Itulah sebabnya ada sapi berwarna hitam. Banteng yang melihat kejadian itu mencoba melerai dan meredakan amarah Çiwa. Sejak itu banteng menjadi kendaraan Çiwa. Sapi-sapi yang melihat dan mengakui kehebatan dan kesaktian Çiwa sangat kagum dan mengangkatnya sebagai pemimpin, serat memberi julukan Gopari pada Çiwa

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter