Tabir Mimpi - Mimpi Bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, HADITS MIMPI BERTEMU NABI SAW
HADITS MIMPI BERTEMU NABI SAW. (رؤية النبي)
A. Hadis Mimpi Bertemu Nabi saw. (Ru’yah al-Nabi)
-حَدَّثَنَا أَبُو الرَّبِيعِ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْعَتَكِىُّ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ - يَعْنِى ابْنَ زَيْدٍ - حَدَّثَنَا أَيُّوبُ وَهِشَامٌ عَنْ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ رَآنِى فِى الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِى فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَمَثَّلُ بِى ». رواه مسلم و الترمذي و ابن ماجه. [1] وفى رواية الدارمي : (لا يتمثل مثلي)[2]
-حدثنا محمد بن رمح . أنبأنا الليث بن سعد عن أبي الزبير عن جابر عن رسول الله صلى الله عليه و سلم أنه : قال ( من رآني في المنام فقد رآني . إنه لا ينبغي للشيطان أن يتمثل في صورتي ) رواه مسلم و ابن ماجه[3]
-حدثنا عبدان أخبرنا عبد الله عن يونس عن الزهري حدثني أبو سلمة أن أبا هريرة قال : سمعت النبي صلى الله عليه و سلم يقول ( من رآني في المنام فسيراني في اليقظة ولا يتمثل الشيطان بي ) رواه البخاري[4]
-حدثنا علي بن محمد . حدثنا وكيع عن سفيان عن أبي إسحاق عن أبي الأحوص عن عبد الله عن النبي صلى الله عليه و سلم : قال ( من رآني في المنام فقد رآني في اليقظة فإن الشيطان لا يتمثل على صورتي ) رواه ابن ماجه[5]
-حَدَّثَنِى أَبُو الطَّاهِرِ وَحَرْمَلَةُ قَالاَ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِى يُونُسُ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ حَدَّثَنِى أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ )مَنْ رَآنِى فِى الْمَنَامِ فَسَيَرَانِى فِى الْيَقَظَةِ أَوْ لَكَأَنَّمَا رَآنِى فِى الْيَقَظَةِ لاَ يَتَمَثَّلُ الشَّيْطَانُ بِى( رواه مسلم و أبو داود[6].
وفى رواية احمد : ( أَوْ فَكَأَنَّمَا)[7]
-حدثنا محمد بن يحيى . حدثنا سليمان بن عبد الرحمن الدمشقي . حدثنا سعدان بن يحيى بن صالح اللخمي . حدثنا صدقة بن أبي عمران عن عون بن أبي جحيفة عن أبيه عن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال ( من رآني في المنام فكأنما رآني في اليقظة . إن الشيطان لا بستطيع أن يتمثل بي ) رواه ابن ماجه[8]
-أخبرنا أبو محمد بن المصفى ثنا محمد بن حرب عن الزبيدي عن الزهري عن أبي سلمة عن أبي قتادة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : )من رآني في المنام فقد رأى الحق( رواه الدارمي[9] وفي رواية البخاري و مسلم : (من رآني فقد رأى الحق([10]
B. Penjelasan
مَنْ رَآنِى فِى الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِى فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَمَثَّلُ بِى
Menurut al-Baqillani, makna “melihatku” (Rasulullah) dalam hadis di atas adalah benar adanya, bukan mimpi kosong, juga bukan penyerupaan-penyerupaan dari syetan.[11]
Menurut Imam al-Ghazali, makna sabda Nabi فَقَدْ رَآنِى maksudnya bukan berarti seseorang akan melihat jasadnya atau badannya, melainkan seseorang akan melihat perumpamaan dari makna yang terkandung dalam mimpi tersebut.[12]
Namun, banyak kaum sufi yang berkeyakinan bahwa seseorang dapat bertemu Nabi secara langsung, meskipun Nabi Muhammad saw. telah wafat empat belas abad yang silam. Keyakinan kaum sufi yang seperti ini berdasarkan hadis riwayat al-Bukhari dari Abû Hurairah:
من رآني في المنام فسيراني في اليقظة ولا يتمثل الشيطان بي
“Siapa yang melihatku saat mimpi, maka ia akan melihatku dalam keadaan sadar. Dan syetan tidak dapat menyerupai diriku.”
Menurut penafsiran kaum sufi, hadis di atas jelas sekali menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw. masih hidup dan bisa ditemui secara langsung oleh kaum sufi. Apalagi jika didahului mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw., maka bisa dipastikan orang yang mimpi tersebut akan mengalami pertemuan langsung dengan Nabi Muhammad saw. Munculnya penafsiran ini, menurut kaum sufi karena dalam hadis terdapat kata يقظة yang berarti “bertemu secara langsung”. Oleh karena itu, banyak kaum sufi yang mengklaim pernah bertemu dengan Nabi Muhammad saw. secara langsung dan mendapatkan wirid-wirid tertentu, kitab, ilmu, bahkan diantara mereka ada yang menyatakan bahwa seluruh ucapannya bersumber dari mulut Nabi Muhammad saw. Para sufi yang mengklaim pernah bertemu dengan Nabi Muhammad saw. antara lain adalah al-Tijânî, Abû Hasan al-Syâdzilî, Ibnu ‘Arabi, Muhammad al-Suhaimi, dan lain-lain.[13]
Untuk dapat menafsirkan hadis riwayat al-Bukhari di atas, perlu diperhatikan apakah ada hadis-hadis lain yang membicarakan tema yang sama. Jika ternyata ditemukan adanya riwayat lain, maka tidak boleh mengabaikan riwayat-riwayat tersebut. Karena seperti halnya ayat al-Qur’an antara yang satu dengan yang lain bisa saling menafsirkan, dalam hadis Nabi pun berlaku kaidah demikian, yakni antara satu riwayat dengan riwayat lainnya dapat saling menafsirkan.[14]
Untuk menjawab pertanyaan bisakah seseorang bertemu langsung dengan Nabi Muhammad saw., ada riwayat lain yang perlu diteliti dan merupakan kunci untuk memahami hadis mimpi bertemu Nabi Muhammad saw., yaitu sebuah hadis riwayat Muslim dan Abû Dâwûd melalui jalur Abû Hurairah ra. Berikut teks hadis tersebut:
مَنْ رَآنِى فِى الْمَنَامِ فَسَيَرَانِى فِى الْيَقَظَةِ أَوْ لَكَأَنَّمَا رَآنِى فِى الْيَقَظَةِ لاَ يَتَمَثَّلُ الشَّيْطَانُ بِى
“Siapa yang melihatku saat mimpi, maka ia akan melihatku dalam keadaan sadar atau seakan-akan ia telah melihatku. Dan syetan tidak bisa menyerupai diriku.”
Baik riwayat al-Bukhari maupun riwayat Muslim dan Abû Dâwûd, keduanya sama-sama melalui jalur Abû Hurairah. Namun riwayat al-Bukhari nampaknya mempunyai arti yang umum. Riwayat seperti ini membutuhkan riwayat lain untuk menafsirkannya. Tanpa didukung riwayat lain yang semakna, maka akan sulit untuk menafsirkannya. Bahkan bisa keliru menafsirkannya dan merusak makna yang sebenarnya dari hadis tersebut.
Sementara riwayat Muslim dan Abû Dâwûd nampaknya mempunyai arti yang lebih khusus. Maka tepat sekali jika riwayat Muslim dan Abû Dâwûd tersebut dijadikan sebagai penafsir dari riwayat al-Bukhari. Dengan demikian, makna hadis
مَنْ رَآنِى فِى الْمَنَامِ فَسَيَرَانِى فِى الْيَقَظَةِ
(Siapa yang bermimpi melihatku, maka ia akan melihatku secara nyata), tidak seperti pemahaman kaum sufi selama ini yakni benar-benar bertemu langsung dengan Nabi Muhammad saw., tapi hanya merupakan sebuah pengandaian saja. Kata kunci untuk menafsirkan hadis tersebut adalah lafazh لَكَأَنَّمَا yang berarti suatu pangandaian. Jika kedua riwayat tersebut digabungkan, maka hadis itu bermakna Siapa yang bermimpi melihatku, maka seakan-akan ia telah bertemu langsung denganku.
Untuk mengetahui penafsiran hadis tersebut secara luas, di sini akan dikemukakan beberapa pendapat ulama ahli hadis. Menurut al-Nawawi, maksud lafazh فسيراني في اليقظة mengandung tiga pengertian, yaitu:
1. Bagi orang-orang yang sezaman dengan Nabi Muhammad saw. namun tidak sempat berhijrah, lalu orang tersebut bermimpi melihat Nabi Muhammad saw. maka Allah akan memberikan taufiq-Nya kepada mereka sehingga bisa bertemu Nabi Muhammad saw.;
2. Akan bertemu Nabi Muhammad saw. di akhirat sebagai pembenaran mimpinya, karena di akhirat setiap umat Nabi Muhammad saw. baik yang pernah bertemu maupun belu, akan mengalami pertemuan langsung dengan beliau;
3. Melihat Nabi di akhirat secara dekat dan mendapat syafa’atnya.[15]
Menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, penafsiran terhadap hadis mimpi bertemu Nabi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dibagi menjadi enam pendapat, yaitu:
1. Hadis tersebut harus dipahami secara perumpamaan (tasybîh), karena diperkuat dengan riwayat lain yang redaksi lafazhnya menunjukkan arti perumpamaan (لَكَأَنَّمَا).
2. Orang yang mimpi bertemu Nabi akan melihat kebenaran, baik secara nyata maupun hanya ta’bir saja.
3. Hadis tersebut dikhususkan kepada orang-orang yang sezaman dengan Nabi Muhammad saw. dan bagi orang yang beriman kepada Nabi yang belum sempat melihatnya.
4. Bahwa orang mimpi tersebut akan melihat Nabi, seperti ketika bercermin, namun hal tersebut sangat mustahil.
5. Maknanya bahwa ia akan melihat Nabi Muhammad saw. pada hari kiamat dan tidak dikhususkan bagi mereka yang telah mimpi bertemu dengan Nabi saja.
6. Orang yang mimpi melihat Nabi, ia akan melihatnya secara nyata. Namun pendapat ini masih diperdebatkan.[16]
Sementara itu menurut Yûsuf al-Qardhawi, pengertian hadis mimpi bertemu Nabi dengan berbagai riwayatnya menunjukkan bahwa Allah memuliakan Nabi-Nya dan memuliakan umat-Nya dengan mencegah syetan untuk menampakkan dirinya dalam sosok Nabi Muhammad saw. di dalam mimpi. Tujuannya agar syetan tidak mempunyai peluang untuk berdusta dengan lisan Nabi-Nya dan tidak bisa menyesatkan umat manusia. MeskipunAllah telah memberikan kesanggupan kepada syetan untuk merubah dirinya dalam sosok apa saja yang diinginkannya, tapi untuk menjelma seperti sosok Nabi Muhammad saw. syetan tidak sanggup melakukannnya. Oleh karena itu, siapa saja yang melihat Nabi Muhammad saw. dalam mimpinya, maka orang tersebut sungguh-sungguh telah melihat Nabi Muhammad saw. dengan benar atau ia telah melihat kebenaran, sebagaimana dijelaskan dalam hadis. Dan mimpi melihat Nabi Muhammad saw. tidaklah dikategorikan sebagai mimpi yang kosong dari makna, dan juga bukan dari godaan syetan.[17]
Berdasarkan penafsiran para ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat yang mengatakan bahwa seseorang dapat bertemu secara langsung dengan Nabi Muhammad saw. bukan berasal dari hadis yang shahih, tetapi merupakan penafsiran kaum sufi. Banyaknya kaum sufi yang mengklaim pernah bertemu dengan Nabi Muhammad saw. seakan-akan dapat dijadikan dalil kebenaran penafsiran tersebut. Sedangkan untuk membuktikan kebenaran mimpi bertemu dengan Nabi, langkah yang harus ditempuh adalah dengan menanyakan kepada orang yang bermimpi tentang sifat Nabi yang ditemuinya itu. Jika cocok dengan sifat yang telah diterangkan dalam riwayat-riwayat, maka orang tersebut benar-benar telah melihat Nabi dalam mimpinya. Sebaliknya, jika tidak sesuai maka orang tersebut telah bermimpi. Hal seperti inilah yang dilakukan oleh ahli tafsir mimpi, Ibnu Sirin, sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalâni:
إذا قص عليه رجل أنه رأى النبي صلى الله عليه و سلم قال صف لي الذي رأيته فان [18]وصف له صفة لا يعرفها قال لم تره
“Jika seseorang berkata kepada Ibnu Sirrin bahwa ia telah mimpi melihat Nabi Muhammad saw., maka ia akan bertanya kepadanya: ‘Jelaskanlah sifat orang yang kamu lihat (mimpikan) itu kepadaku’. Maka jika orang yang bermimpi tersebut mengisahkan kepadanya denga sifat yang tidak diketahui oleh Ibnu Sirin, maka Ibnu Sirin berkata: ‘Kamu tidak melihat Nabi Muhammad saw. dalam mimpimu’.”
Oleh: Hj. Muthmainnah, MA
DAFTAR PUSTAKA
- Abû Dâwûd Sulaimân bin al-Asy’ats al-sijistâni. Sunan Abî Dâwûd. Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, t.th.
- Ahmad bin Hanbal. Musnad Ahmad bin Hanbal. Kairo: Mu’assasah Qurthubah, t.th.
- Al-‘Asqalâni, Ahmad bin ‘Alî bin Hajar. Fath al-Bârî Syarh Shahîh al-Bukhâri.Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379 H.
- Al-Bukhârî, Muhammad bin Isma’il Abû ‘Abdillah. Shahîh al-Bukhârî. Beirut: Dâr Ibnu Katsîr, 1407 H/ 1987 M.
- Al-Dârimî, ‘Abdurrahmân Abû Muhammad. Sunan al-Dârimî. Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, 1407 H.
- Ibnu Mâjah al-Qazwînî, Abû ‘Abdillah Muhammad bin Yazîd. Sunan Ibnu Mâjah. Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.
- Ibrahim, Ahmad Syauqi. Misteri Tidur: Menyingkap Keajaiban di balik Kematian Kecil. Terj. Faishal Hakim Halimi. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007.
- Muslim bin al-Hajjâj al-Naisaburi. Sahîh Muslim. Beirut: Dâr al-Jîl, 1374 H.
- Al-Nawâwi, Abû Zakariyyâ Yahyâ bin Syaraf. Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawâwî.Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâtsal-‘Arabi, 1392 H.
- Al-Qardhawi, Yûsuf. Sikap Islam terhadap Ilham, Kasyf, Mimpi, Jimat Perdukunan, dan Jampi. Terj. Hermansyah. Jakarta: Bina Tsaqafah, 1997.
- Sya’roni, Usman. Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
- Al-Tirmidzi, Muhammad bin ‘Îsâ. Sunan al-Tirmidzi. Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, t.th.
[1] Muslim bin al-Hajjâj al-Naisaburi, Sahîh Muslim (Beirut: Dâr al-Jîl, 1374 H), Juz 7, Kitab al-Ru’yâ, Bab 2-Qaul al-Nabi Man Ra’ânî fi al-Manâm faqad Ra’anî, hadis no. 6056, h. 54. Hadis ini juga terdapat dalam Muhammad bin ‘Îsâ al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, t.th), Juz 4, Kitab al-Ru’yâ, Bab 4-Mâ Jâ’a fî Qaul al-Nabî Shallallâh ‘alaihi wa Sallam:Man Ra’ânî fi al-Manâm faqad Ra’anî, Hadis no. 2276, h. 535; Abû ‘Abdillah Muhammad bin Yazîd bin Mâjah al-Qazwînî, Sunan Ibnu Mâjah (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), Juz 2, Kitab Ta’bîr al-Ru’yâ, Bab 2- Ru’yah al-Nabi Shallallâh ‘alaihi wa Sallam fî al-Manâm, Hadis no. 3901, 3903, 3905, h. 1284-1285.
[2] ‘Abdurrahmân Abû Muhammad al-Dârimî, Sunan al-Dârimî (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, 1407 H), Juz 2, Bâb fî Ru’yah al-Nabi fî al-Manâm, no. Hadis 2139, h. 166.
[3] Muslim, Sahîh Muslim, no. Hadis 6060; Muhammad bin Yazîd Abû ‘Abdillah al-Qazwînî, Sunan Ibnu Mâjah, no. Hadis 3902.
[4] Muhammad bin Isma’il Abû ‘Abdillah al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî (Beirut: Dâr Ibnu Katsîr, 1407 H/ 1987 M), Juz 6, Kitab al-Ta’bîr, Bab 10-Man Ra’a al-Nabi Shallallallah ‘alaihi wa sallam fî al-Manâm, no.hadis 6592, h. 2567.
[5] Muhammad bin Yazîd Abû ‘Abdillah al-Qazwînî, Sunan Ibnu Mâjah, no. hadis 3900.
[6] Muslim, Sahîh Muslim, no. Hadis 6057. Hadis ini terdapat juga dalam Abû Dâwûd Sulaimân bin al-Asy’ats al-sijistâni, Sunan Abî Dâwûd (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, t.th), Juz 4, Kitab al-Adab, Bab 96- Mâ Jâ’a fî al-Ru’yâ, no. hadis 5025, h. 464.
[7] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal (Kairo: Mu’assasah Qurthubah, t.th), Juz 5, Hadis Abî Qatâdah r.a., h. 306.
[8] Muhammad bin Yazîd Abû ‘Abdillah al-Qazwînî, Sunan Ibnu Mâjah, no. hadis 3904.
[9] Al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, no. hadis 2140.
[10] Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, no. Hadis 6595; Muslim, Sahîh Muslim, no. Hadis 6058.
[11] Ahmad Syauqi Ibrahim, Misteri Tidur: Menyingkap Keajaiban di balik Kematian Kecil. Terj. Faishal Hakim Halimi (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007), h. 183.
[12] Ibid., h. 187.
[13] Untuk lebih jelasnya lihat Usman Sya’roni, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 69-86.
[14] Ibid., h. 118.
[15] Abû Zakariyyâ Yahyâ bin Syaraf al-Nawâwi, Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawâwî(Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâtsal-‘Arabi, 1392 H), Juz 15, h. 26.
[16] Ahmad bin ‘Alî bin Hajar al-‘Asqalâni, Fath al-Bârî Syarh Shahîh al-Bukhâri (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379 H), Juz 12, h. 385.
[17] Yûsuf al-Qardhawi, Sikap Islam terhadap Ilham, Kasyf, Mimpi, Jimat Perdukunan, dan Jampi. Terj. Hermansyah (Jakarta: Bina Tsaqafah, 1997), h. 173-174.
[18] Ibnu Hajar al-‘Asqalâni, Fath al-Bârî Syarh Shahîh al-Bukhâri, Juz 12, h. 384.
Posting Komentar
Posting Komentar